We Were All Female….

Menurut pengakuan science , kita semua awalnya adalah wanita. Setidaknya itulah gen awal sebelum pada akhirnya ditentukan jenis kelamin kita antara pria atau wanita. Aneh bukan? tidak heran setiap pria memiliki sisi kewanitaannya… alias Soft Spot Inside Men’s Heart.  LOL

Menurut  agama, manusia pertama adalah Adam.  Hal ini tidak bertentangan dengan dengan pendapat science di atas. karena di dalam Kitab suci, tidak dijelaskan mengenai Gen, tetapi manusia yang dilahirkan setelah Gen itu berubah menjadi pria atau wanita.

 

KRename (KEN RENAME)

Free Software Full Crack

Software KRename

KRename (Ken Rename) adalah software untuk me-rename files di hard drives anda.
Software ini dapat digunakan dengan mudah dan sangat efisien untuk merename banyak file.
jika anda tidak mengerti bagaimana merename banyak file sekaligus,
anda juga disediakan option untuk merename satu demi satu file anda.
option ini sangat sederhana dan tidak mempersulit pengguna dengan berbagai trik.
cukup dengan klik file, rename, enter, dan kemudian rename lagi.
Selain gratis, software ini memberikan full options bagi pengguna untuk merename files.
tidak hanya option sederhana saja yang disediakan oleh software ini,
option yang lebih rumit pun disediakan,tetapi pengguna diharapkan untuk mengerti beberapa perintah khusus.

cara penggunaan software ini sangat mudah.
Setelah diinstal dan dibuka, anda cukup memilih drive tempat files yang anda ingin rename.
setelah menemukan files-nya anda pilih file yang teratas dalam folder files anda.
kemudian anda klik tombol rename di samping tulisan rename di bar software KRename.
setelah merename satu file tersebut, klik enter di keyboard anda, maka file berikutnya siap direname.

Krename
download software-nya di kumpulbagi:
Download Ken Rename

Pasal 1 Ayat (2) KUHP

  1. Isu Kontradiksi Pasal 1 Ayat (2) KUHP dan Pasal 1 Ayat (1) KUHP

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menulis tentang pasal 1 ayat (1) KUHP yang membahas mengenai asas legalitas. Pembahasan asas legalitas itu juga dikaitkan dengan yurisprudensi yang sering sekali disalah-artikan oleh masyarakat awam Indonesia. Kali ini penulis akan membahas mengenai pasal 1 ayat (2) KUHP yang telah dijanjikan oleh penulis pada tulisan sebelumnya. Tetapi, perlu diingat bahwa penulis tidak menulis tulisan ini hanya semata-mata karena janji belaka. Tulisan ini juga mempunyai latar belakang penulisan tertentu.

Perlu diingatkan, “Penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu!”

Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sering sekali salah mengartikan maksud  dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Orang sering menyatakan bahwa pasal 1 ayat (2) ini merupakan pengecualian dari pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi penggunaan kata “pengecualian” ini telah menunjukkan kesalahpahaman dalam mengartikan maksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Penggunaan kata pengecualian ini , setidak-tidaknya akan menggiring pembaca pada kesalahpahaman bahwa asas legalitas sebenarnya secara frontal berkontradiksi dengan pasal 1 ayat (2) KUHP.  Pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk lebih jelasnya pembaca diharapkan telah membaca tulisan mengenai asas legalitas (pasal 1 ayat (1) KUHP) yang ditulis oleh penulis pada tulisan sebelumnya.

Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dari bunyi pasal tersebut, terdapat frasa perubahan dalam Undang-Undang. Kata yang penting untuk dilihat dalam frasa tersebut ialah kata perubahan. Masyarakat awam sering salah mengartikan kata perubahan tersebut bahwa telah ada Undang-Undang baru yang menggantikan Undang-undang lama. Kata perubahan tersebut tidak bermaksud demikian, karena kata perubahan tidak sama dengan kata “pengganti”. Kata perubahan tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa Undang-undang yang lama itu telah diubah tetapi tidak diganti. Artinya tidak ada undang-undang baru yang menggantikan undang-undang yang lama tersebut, hanya saja sebagian dari undang-undang lama tersebut (pasal demi pasal) ada yang diubah  baik rumusannya ataupun pemidanaannya. Sehingga undang-undang yang lama tersebut tetap berlaku seperti biasanya, tetapi ada pasal-pasal tertentu dalam undang-undang lama tersebut yang diubah rumusannya ataupun pemidanaannya.

Penulis juga menyediakan contoh sederhana mengenai kata perubahan ini. Misalnya dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Yang Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh ini lebih pada perubahan rumusan dan pemidanaannya, dalam pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dijelaskan : “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Bunyi pasal 5 tersebut mengharuskan pembaca melihat kembali pada pasal 209 KUHP. Bunyi pasal 209 KUHP tersebut ialah,

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

  1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.”

Bunyi pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi pasal 5 setelah perubahan pun menjadi,

  • Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
  • Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perubahan ini terlihat begitu sederhana, hanya memasukan bunyi pasal 209 dari KUHP saja. Tetapi, jika dilihat secara lebih seksama, perubahan ini sangat efektif, mengingat pembaca tidak perlu lagi melihat pasal 209 KUHP jika pembaca membaca pasal 5 sebelum perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemidanaannya juga diubah, jika sebelum perubahan, sanksi pidana dalam bunyi pasal 5 ini mengacu juga pada pasal 35 KUHP, maka setelah perubahan, pemidanaannya tidak lagi mencakup pasal 35 KUHP. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap berlaku tetapi dalam penulisan atau pun penyebutannya harus lengkap yakni Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perubahan terhadap suatu Undang-undang, berbeda dengan penggantian suatu undang-undang.  Suatu penggantian undang-undang lama oleh undang-undang yang baru menunjukkan bahwa undang-undang yang lama itu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru, artinya undang-undang lama itu secara keseluruhan tidak berlaku lagi karena telah dicabut. Undang-undang yang baru itu yang berlaku secara keseluruhan menggantikan undang-undang yang lama. Contoh Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya yang dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Artinya Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dan diganti. Sedangkan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itulah yang berlaku.

Dengan demikian pasal 1 ayat (2) KUHP sebenarnya bukan merupakan kelemahan atau pengecualian pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi merupakan pelunakan atau penghalusan dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada kenyataannya memang benar banyak perdebatan mengenai hal ini, apalagi waktu disahkannya undang-undang yang merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya tersebut ialah saat perbuatan itu telah dilakukan. Tetapi penulis lebih memilih kata pelunakan atau penghalusan lebih tepat dari pada pengecualian, sebab kata perubahan itu tidak sama dengan kata penggantian.

  1. Frasa demi Frasa pasal 1 ayat 2 KUHP

Untuk membahas frasa demi frasa dalam pasal 1 ayat (2) KUHP ini, kita perlu melihat kembali bunyi pasal 1 ayat (2) ini. Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dalam bunyi tersebut, terdapat dua frasa, frasa pertama yakni “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan”. Dari frasa tersebut ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yakni “perubahan dalam perundang-undangan” dan “sesudah perbuatan dilakukan”. Frasa kedua berbunyi, ”maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Dalam frasa kedua ini, hal yang paling penting untuk dilihat adalah “ketentuan yang paling menguntungkannya”.

  1. Perubahan Dalam Perundang-Undangan

Penulis telah membahas mengenai isu kontradiksi pasal 1 ayat (2) KUHP ini dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Namun, ada pertanyaan penting lain yang perlu dijawab, yakni: undang-undang apa saja yang menjadi batasan dari bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP ini? Seperti apa saja perubahan dalam perundang-undangan yang dimaksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP ini?

Untuk menjawab kedua pertanyaan, kita harus melihat keterkaitan pasal 1 ayat (2) KUHP dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Keterkaitan ini menyangkut istilah perbuatan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Di dalam penulisan peraturan perundang-undangan pidana, jika suatu pasal mempunyai ayat-ayat yang termasuk dalam pasal tersebut, maka ayat-ayat itu seharusnya berhubungan satu sama lain. Pasal 1 ayat (1) berbunyi :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dari bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut merupakan ketentuan pidana. Jadi secara logika. Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud adalah perubahan dalam undang-undang pidana, bukan dalam undang-undang perdata. Hal ini dianut oleh Alm. Prof. Simons dalam teori formilnya. Tetapi teori formil tersebut dibantah oleh Van Geuns. Menurut Van Geuns dalam teori materiil terbatas -nya, perubahan undang-undang itu boleh juga perubahan dari undang-undang lain sepanjang perubahan undang-undang itu mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan, namun perubahan itu harus berdasarkan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang.. Teori ini didukung oleh Hoge Raad dengan arrest tanggal 3-12-1906. Hoge raad ini memuat kasus seorang mucikari (biasa disebut germo) yang membolehkan seorang wanita berusia 22 tahun untuk menjalankan pelacuran di rumahnya. Germo ini dituntut dengan pasal 295 sub 2 KUHP. Saat itu, batas usia dewasa dalam pasal 330 B.W (burgerlijk wetboek) ialah 23 tahun. Namun saat perkara itu diadili, pasal 330 BW diubah yakni batas usia dewasa ialah 21 tahun.

Ahli hukum, Vos, memperkenalkan teori lainnya yakni teori materiil tak terbatas. Menurutnya perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) KUHP itu tidak terbatas pada undang-undang manapun tidak perlu perubahan perasaan dari pembuat undang-undang. Teori ini didukung oleh H.R. dengan arrestnya tanggal 5 September 1921.  Teori Vos ini digunakan di Belanda dengan syarat perubahan tersebut terjadi bila ada perubahan kaidah pidana dan/atau ada perubahan ancaman pidana.

Selain ketiga teori tersebut, perubahan undang-undang ini sebenarnya tidak termasuk dalam perubahan undang-undang yang bersifat sementara. Misalnya peraturan darurat yang berlaku di saat-saat darurat saja (contoh : peraturan perang), setelah keadaan kembali normal, maka aturan darurat itu juga ditarik kembali.  Khusus dalam konteks perubahan undang-undang yang bersifat sementara ini, baik di Belanda maupun di Indonesia, beraku teori van geuns.

  1. Sesudah Perbuatan Dilakukan

Pertanyaan lain kembali muncul, kapan perubahan undang-undang itu dapat berlaku? Apakah di pengadilan tingkat banding dan kasasi berlaku perubahan undang-undang?

Dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP terdapat syarat berlakunya perubahan undang-undang tersebut dalam suatu kasus. Syaratnya sederhana, yakni perubahan undang-undang itu terjadi sesudah perbuatan dilakukan, lebih jelasnya sesudah perbuatan dilakukan tetapi sebelum diadili. jadi dalam pemeriksaan di pengadilan, seharusnya telah diketahui kapan tepatnya perbuatan itu dilakukan, sehingga jika terjadi perubahan undang-undang, dapat ditentukan apakah perubahan undang-undang tersebut berlaku atau tidak.

Di pengadilan tingkat pertama, perubahan undang-undang ini dapat digunakan, karena proses persidangan terhadap suatu kasus yang masih baru. Sedangkan di tingkat banding, perubahan undang-undang ini dapat dipakai jika dalam tingkat banding dilakukan persidangan terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai proses yang baru. Sedangkan jika hanya sebagai koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) maka perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai. Di tingkat kasasi, perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai karena mahkamah agung hanya akan memperhatikan pasal-pasal yang telah dipakai oleh hakim-hakim di bawahnya (putusan MA 23 Mei 1970, perkara Kwee Tjin Hok).

  1. Ketentuan Yang Paling Menguntungkannya

Untuk menentukan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa, perlu dilakukan perbandingan antara undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru. Dalam konteks ini ketentuan yang dimaksud itu antara lain ketentuan mengenai ancaman pidananya, perumusan kaidahnya, unsur-unsurnya, atau golongannya (misalnya dulu merupakan kejahatan umum, di perubahan undang-undangnya menjadi delik aduan), dan sebagainya.

Menurut HR tanggal H.R tanggal 25 Juni 1906, menentukan ketentuan yang paling menguntungkan itu tidak dapat ditentukan secara umum, tetapi harus secara khusus kasus demi kasus. Artinya setiap kasus itu bisa saja berbeda ketentuan yang paling menguntungkannya tersebut.

Demikian saja untuk tulisan pasal 1 ayat (2) KUHP ini. Penulis sudah kewalahan mencari sumber. Maaf dan terima kasih dari penulis untuk para pembaca setia.

Sekali lagi, penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu! Kalau ada pertanyaan, Silahkan ada kolom komentar di wordpress ini.  

 

Sumber :

KUHP

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2015.

Rasyid Adriman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Malang : Setara Press, 2015.

Pasal 1 ayat (1) KUHP (ASAS LEGALITAS)

Ada berbagai asas hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Asas legalitas ini perlu diketahui dan harus diketahui oleh semua kalangan masyarakat Indonesia dari Sumatra hingga Papua. Karena Indonesia adalah negara hukum, jadi kita semua perlu mengetahui asas-asas hukum di Indonesia. Lebih detail mengenai alasan mengapa asas ini begitu penting akan dijelaskan juga oleh penulis.

Jika kamu adalah orang yang mempelajari hukum, maka asas ini akan lazim kamu dengar. Tetapi bagi orang awam yang belum mempelajari hukum, khususnya mereka yang tinggal di daerah pedesaan, asas ini cukup asing di telinga mereka. Bayangkan saja, kalau asas legalitas yang begitu mendasar tidak diketahui oleh masyarakat pedesaan, apalagi kalau kita berbicara tentang undang-undang tindak pidana pencucian uang.

Penulis juga prihatin dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya mengetahui bahwa suatu perbuatan dapat dihukum bila ada peraturannya terlebih dahulu, namun mereka tidak mengetahui istilah asas legalitas. Kebanyakan ahli hukum di Indonesia menggunakan istilah-istilah ini untuk menjelaskan hukum di televisi, namun istilah ini hanya diketahui oleh mereka yang sudah mengenal asas-asas hukum. Anda sebagai pembaca Online mungkin tidak percaya dengan apa yang penulis sampaikan di atas, tetapi tidak ada salahnya jika pembaca mencoba bertanya ke teman-teman di jalanan, apakah mereka mengetahui istilah asas legalitas. Jangan terkejut kalau banyak yang tidak mengetahui istilah itu.

Kenyataan bahwa kebanyakan pembaca artikel Online mengetahui istilah asas legalitas memang tidak dapat dipungkiri. Suatu hal yang aneh bahwa penulis malah memposting artikel mengenai asas legalitas ini di media Online. Jujur saja, penulis tidak punya dana untuk print tulisan ini dan dibagi-bagikan secara gratis ke masyarakat  Indonesia. Tulisan ini dibuat hanya sebagai kesadaran penulis akan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pasal 1 ayat (1) KUHP (asas legalitas). Penulis tidak akan berhenti hanya dengan membahas mengenai asas legalitas ini saja, oleh karena itu, kalau ingin membantu, pembaca bisa share tulisan ini, atau pun print tulisan ini untuk dibagikan. Penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini. Tulisan ini hanya sebagai upaya penulis untuk membantu upaya pemerintah dalam mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.

Asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat mendasar dalam hukum Indonesia. Asas legalitas ini juga biasa disebut dengan adagium legendaris dari seorang ahli hukum yang bernama von Feuerbach. Adagium tersebut ialah “Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang artinya tidak ada tindak pidana/delik, tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya. Adagium ini juga dapat dibagi dalam 3 maksud, yakni :

  1. Tidak ada hukuman, jika tak ada Undang-undang,
  2. Tidak ada hukuman, jika tak ada kejahatan
  3. Tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang.

Asas legalitas ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum sebab dengan demikian keadilan bagi terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan (dalam hal ini khususnya mengenai waktu terjadinya peristiwa hukum). dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dipakai juga dapat sesuai dengan waktu terjadinya peristiwa hukum. Namun pasal 1 ayat (1) KUHP ini, mempunyai pengecualian (lebih tepatnya penghalusan/pelunakan) yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Penghalusan ini akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Asas legalitas ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang biasa disingkat dengan KUHP. Bunyi pasal 1 ayat (1) itu adalah :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dari bunyi pasal tersebut terdapat frasa pertama dan frasa kedua. Frasa pertama yakni “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana”. Frasa kedua, yakni “kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dalam mengartikan atau memahami pasal 1 ayat (1), kita tidak dapat mengartikan frasa pertama dan kedua secara terpisah. Artinya, frasa pertama dan kedua tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga frasa pertama dan frasa kedua dalam pemahaman keseluruhan pasal tidak dapat dipisahkan .

Dalam frasa pertama  “suatu perbuatan tidak dapat dipidana” ingin menjelaskan bahwa adanya kelompok perbuatan atau tindakan atau kelakuan, atau tingkah laku yang tidak dapat dipidana. Kelompok perbuatan ini menjadi kelompok yang lebih umum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

Sementara itu, dalam frasa kedua, yakni  “kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, terdapat satu kata yang membedakan frasa pertama dan kedua yakni kata “kecuali”. Kata kecuali ini menjelaskan bahwa ada perbuatan yang diistimewakan atau tidak termasuk dalam kelompok perbuatan yang dijelaskan dalam frasa pertama. Dengan demikian terdapat dua kelompok perbuatan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana. Frasa pertama jelas mengandung perbuatan yang tidak dapat dipidana. Sementara frasa kedua mengandung perbuatan yang dapat dipidana, tetapi dengan syarat tertentu. Syarat tersebut ialah telah ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan.

Jadi, perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana bergantung pada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan tidak ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Sebaliknya, jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan telah ada perbuatan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Namun keadilan itu sendiri bukan berasal dari kumpulan aturan yang dirangkai menjadi satu buku atau kitab undang-undang. Keadilan itu berasal dari masyarakat, hal inilah yang harus diingat oleh masyarakat awam yang belum mengerti hukum. Dengan demikian timbul pertanyaan, bagaimana jika menurut masyarakat suatu perbuatan itu salah dan akibatnya yang merugikan orang lain sementara perbuatan tersebut belum ada peraturan perundang-undangannya? Apakah dalam konteks ini asas legalitas masih berlaku? Bagaimana mengadili perbuatan yang salah tetapi belum ada peraturan perundang-undangannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibahas mengenai yurisprudensi.

Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat. Yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan secara terus menerus oleh peradilan. Sistem hukum di Indonesia tidak menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum, tetapi menganut aliran rechtsvinding yang menyatakan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi yurisprudensi dapat dilakukan jika yurisprudensi itu mempunyai dasar hukumnya tersendiri. Dengan demikian perbuatan pidana yang belum ada peraturan perundang-undangannya dapat diadili, karena dalam tulisan sebelumnya yang membahas mengenai etika profesi hakim dijelaskan mengenai hakim yang tidak boleh menolak suatu perkara. Hal ini didasari oleh Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bunyi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Bunyi Pasal 5 ayat (1) UU 48 tahun 2009, yakni : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Selain itu, pasal 22 AB (Algemene Bepalingen) juga mendasari yurisprudensi. Pasal 22 AB menyatakan bahwa “hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili”. Sehingga, pada dasarnya, asas legalitas tetap berlaku dalam penerapan yurisprudensi itu sendiri.

Lalu timbul pertanyaan lebih lanjut, bagaimana hakim dapat membuat putusan mengenai kasus yang tidak mempunyai dasar hukum? Menurut pendapat R. Sardjono sebagaimana dikemukakan dalam Raker  (Rapat Kerja) Hakim dan Panitera dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun 1972 , antara lain :

  1. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan tersebut.
  2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid), pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-pertimbangan putusan dan dictum putusan.
  3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
  4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenang sekaligus dapat dilenyapkan.
  5. Hubungan antara dictum (amar; sederhananya tiap poin dari putusan) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.

5 hal tersebut tidak serta merta menjadikan putusan tersebut sebagai yurisprudensi. Ke-5 hal tersebut hanya merupakan hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim jika ingin membuat suatu putusan dalam perkara yang tidak mempunyai dasar hukumnya. Ada syarat-syarat lain bagi suatu putusan untuk dapat dijadikan yurisprudensi dalam putusan perkara kasus lainnya yang serupa. Syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi ( Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)), antara lain:

  1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
  2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
  4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
  5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

5 syarat inilah yang menjadi dasar suatu putusan dapat dijadikan yurisprudensi. Dengan demikian putusan hakim terhadap kasus yang belum ada dasar hukumnya bukan karena adanya yurisprudensi, melainkan karena adanya kewajiban kehakiman yang telah diatur dalam undang-undang yang mana kewajiban kehakiman tersebut dilakukan sesuai asas legalitas.

Demikian saja pembahasan mengenai asas legalitas. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu masyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam mengerti hukum Indonesia. Mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan atau kekurangan dalam penulisan ini dan diharapkan agar pembaca meninggalkan komentar untuk menyemangati penulis dan memberitahu penulis mengenai kekurangan-kekurangan tulisan ini. Akhirnya terima kasih dari penulis untuk pembaca yang telah menyediakan waktu untuk membaca tulisan ini.

source :

  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  3. Kamus Besar Bahasa Indonesia
  4. https://thexqnelson.wordpress.com/2014/06/10/etika-profesi-hakim/
  5. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514810646f40f/asas-legalitas,-kebebasan-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidah-yurisprudensi
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Asas_Legalitas#cite_note-Referensi-1
  7. Hasil-hasil pertemuan ilmiah (simposium, seminar lokakarya) BPHN 1977-1979

ETIKA PROFESI HAKIM

ETIKA PROFESI HAKIM

  1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang menganut sitem hukum civil law. Salah satu yang menjadi ciri civil law ialah bahwa peraturan negaranya  harus tertulis. Dengan peraturan tertulis tersebut, maka  setiap tata tertib yang diatur dalam negara tersebut harus tercantum dalam kodifikasi hukum. Kodifikasi hukum tersebut menjadi pedoman dalam mencari keadilan dalam sistem peradilan negara tersebut.

Sebagai sebuah negara yang berkembang, peraturan tata tertib indonesia juga sudah cukup berkembang. Indonesia mempunyai kitab undang-undang hukum pidana, kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-undang hukum dagang, dan sebagainya. Bahkan sebagai negara yang menganut sistem civil law, Indonesia bahkan tidak hanya menganut kodifikasi hukum, namun karena banyaknya sistem adat di indonesia yang berbeda,  indonesia masih mengakui peraturan tidak tertulis lainnya. Banyaknya peraturan tersebut sangat membantu sistem peradilan di indonesia. Namun dengan banyaknya peraturan tersebut tidak menjamin bahwa keadilan yang dicari dalam peradilan indonesia dapat dicapai dengan mudah. Hal ini disebabkan  pencapaian rasa keadilan tidak hanya bergantung pada faktor peraturan atau perundang-undangan yang berlaku di satu negara.

Faktor-faktor lain juga sangat berpengaruh dalam mencapai keadilan dalam sistem peradilan. Misalnya saja, faktor profesionalitas setiap elemen yang berwenang dalam mencari keadilan tersebut. Meskipun sebuah peraturan dalam negara tertentu sudah sangat lengkap, namun jika elemen yang bertugas dan berwenang tidak bekerja dengan profesionalitas, maka dapat dijamin peraturan tersebut hanya akan menjadi hiasan permata negara semata.

Kendala profesionalitas ini merupakan kendala yang dihadapi setiap negara hukum. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat dengan common law-nya sekalipun, sedang menghadapi masalah profesionalitas para penegak hukumnya. Masalah ini seakan tak ada habisnya untuk dihadapi. Setiap negara dituntut untuk mempunyai penegak hukum yang profesional dan mempunyai naluri yang bersih dalam mengambil keputusan.

Masalah penegak hukum inipun menjadi masalah yang mendasar bagi setiap negara hukum. Setiap negara berusaha untuk mencari jalan keluar terhadap masalah ini. Demikian pula dengan indonesia sebagai negara hukum. Indonesia telah banyak membahas tentang masalah profesionalitas dan etika para penegak hukumnya. Sehingga seorang penegak hukum di indonesia tidak dapat mengambil keputusan hanya untuk kepentingan-kepentingan di luar rasa keadilan.

Salah satu usaha yang telah dilakukan oleh indonesia ialah dengan mengatur kode etik bagi para penegak hukum. Kode etik tersebut mencakup kode etik polisi, hakim, dan penegak hukum lainnya.

Dalam paper ini, permasalahan kode etik ini akan dibahas lebih khusus tentang kode etik profesi hakim. Sebab sebagai seorang penegak hukum, seorang hakim dituntut untuk bertindak mengambil putusan berdasarkan rasa keadilan dan memperjuangkannya. Jika seorang hakim melanggar kode etiknya, maka meskipun aparat keamanan negara bekerja secara profesional dengan peraturan yang lengkap, semuanya akan tetap sia-sia.

Selain itu, masyarakat indonesia yang rata-rata masih buta huruf, masih belum menyadari bahwa seorang hakim juga sudah mempunyai kode etik yang harus ditaati. Selama ini, rata-rata masyarakat indonesia yang belum mengerti hukum hanya menempatkan rasa percaya terhadap hakim  sebagai satu-satunya dasar untuk membawa kasusnya ke pengadilan dan bahkan mereka hanya menyadari pengadilan sebagai sistem hukum yang wajib untuk dihadapi dengan kasus yang ada. Padahal seharusnya mereka juga harus menyadari bahwa seorang penegak hukum dengan status yang begitu dihormati di dalam masyarakat juga terikat dengan kode etiknya sendiri. Sehingga jika mereka merasa keadilan itu belum tercapai, mereka bisa mengawasi hakim tersebut dengan kode etik tersebut dan melaporkannya ke lembaga yang berwenang.

Apalagi banyak perkara-perkara yang dirasakan belum terselesaiakan secara tuntas di indonesia ini. Penilaian terhadap ketuntasan tersebut bukan karena belum adanya putusan dari pengadilan, namun karena kurang puasnya masyarakat terhadap putusan tersebut. Hal ini juga menjadi tanda bahwa kepercayaan masyarakat indonesia terhadap hakim sudah mulai berkurang. Kepercayaan ini akan terus berkurang jika malasah ini tidak segera dibenahi. Sebab jika tidak segera dibenahi, maka lembaga peradilan di indonesia tidak akan menjadi sarana untuk mengadili perkara lagi, melainkan sarana untuk menimbulkan perkara baru.

Permasalahan-permasalahan kode etik hakim sebenarnya cukup banyak, namun cenderung ditutup-tutupi atau bahkan dianggap tidak pernah ada. Status hakim yang begitu tinggi dan dihormati di dalam masyarakat indonesia inilah yang menjadi malasah yang cukup berpengaruh terhadap pelaksanaan kode etik hakim. Pola pikir masyarakat indonesia yang masih membedakan status yang lebih tinggi dengan masyarakat biasa dalam pandangan hukum ini seharusnya sudah bisa diubah. Masyarakat seharunya bisa membantu mengawasi kelakuan-kelakuan hakim yang tidak benar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk membahas tentang masalah kode etik hakim ini.

2. POKOK PERMASALAHAN

Ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini, antara lain, yakni:

  1. Bagaimanakah kode etik profesi hakim di indonesia ?
  2. Bagaimanakah pelaksanaan terhadap kode etik hakim tersebut di indonesia?
  3. Bagaimanakah pengawasan terhadap pelanggaran kode etik tersebut di indonesia?

Persoalan-persoalan tersebut di atas akan dibahas dalam paper ini dengan harapan kita akan lebih mengerti tentang kode etik hakim dan nasib kita tidak akan dipermainkan oleh putusan hakim jika suatu saat kita harus menghadapi persoalan-persoalan dalam pengadilan. Oleh karena itu, sebaiknya kita sedia payung sebelum hujan.

 

3. PEMBAHASAN

            Dalam pembahasan ini, perlu dibahas tentang teori kode etik hakim sebagai usaha untuk menjawab pokok permasalahan tentang bagaimana kode etik profesi hakim di indonesia. Selain itu perlu diberikan contoh kasus dan analisis terhadap kasus tersebut untuk melihat bagaimana pelaksanaannya dan pengawasan terhadap kode etik profesi hakim tersebut.

Ad. 1. Teori Kode Etik Profesi Hakim

Sebagai seorang hakim, maka ia dianggap sudah mengetahui hukum. Inilah yang dimaksud dari asas hukum Ius curia novit. Seorang hakim dituntut untuk dapat menerima dan mengadili berbagai perkara yang diajukan kepadanya. Bahkan seorang hakim dapat dituntut jika menolak sebuah perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini juga diatur dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving, pasal 22 dan pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :

  1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,  melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
  2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian.

Jika seorang hakim tidak dapat menolak sebuah perkara yang belum ada hukumnya atau karena hukumnya yang tidak/kurang jelas, bagaimanakah dia akan mengadili kasus tersebut? Apakah yang menjadi dasar bagi seorang hakim untuk mengadili perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan coba dijawab dalam pembahasan ini.

Hal pertama yang perlu kita ketahui ialah bahwa sebagai seorang penegak hukum , maka seorang hakim mempunyai fungsi yang penting dalam menyelesaikan sebuah perkara, yakni memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Namun dalam memberikan putusan tersebut, hakim itu harus berada dalam keadaan yang bebas. Bebas maksudnya ialah hakim bebas mengadili, tidak dipengaruhi oleh apapun atau siapapun.hal ini menjadi penting karena jika hakim memberikan putusan karena dipengaruhi oleh suatu hal lain diluar konteks perkara maka putusan tersebut tida mencapai rasa keadilan yang diinginkan,.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang hakim, terdapat beberapa sayarat yang harus dipenuhi oleh sorang hakim. Syarat-syarat tersbut ialah tangguh, terampil dan tanggap. Tangguh artinya  tabah dalam menghadapi segala keadaan dan kuat mental, terampil artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan masih berlaku, dan tanggap artinya dalam melakukan pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar serta  menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.

Atas dasar persyaratan-persyaratan tersebut, pada  tahun 1986 diadakan Rapat Kerja Para Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibawah pimpinan Mahkamah Agung. Hasil dari rapat tersebut ialah kode kehormatan hakim. Kode kehormatan hakim inilah yang menjadi kode etik bagi setiap hakim yang ada di Indonesia. Kemudian pada  tanggal 23 bulan maret tahun 1988, IKAHI (Ikatan  Hakim Indonesia) menyetujui kode kehormatan hakim tersebut. Persetujuan ini menjadi pengokohan terhadap kode kehormatan hakim tersebut.

Kode kehormatan hakim tersebut berisi sikap batin dan lahiriah yang harus ditaati oleh seorang hakim atau biasa disebut dengan tri prasetya hakim. Tri prasetya hakim inilah yang menjadi dasar bagi seorang hakim dalam memberikan sebuah putusan terhadap sebuah perkara.

Isi dari tri prasetya hakim tersebut ialah :

1.  Janji Hakim.

“Saya berjanji :

a. Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia;

b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan akan berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim Indonesia;

c. Bahwa saya  bersedia menerima sanksi, apabila saya mencemarkan citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia.

  1. Pelambang atau Sifat Hakim.

a. Kartika = Percaya (Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa), artinya percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

b. Cakra = Adil (Senjata ampuh dari Dewan Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan). Jadi didalam kedinasan seorang hakim harus :

1). Adil.

2). Tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak).

3). Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.

4). Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani.

5). Sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan.

Sedangkan di Luar Kedinasan seorang hakim harus :

1). Saling harga menghargai.

2). Tertib dan Lugas.

3). Berpandangan luas.

4). Mencari saling pengertian.

  1. Candra (Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan) berarti Bijaksana atau Berwibawa.

Didalam Kedinasan :

1). Berkepribadian.

2). Bijaksana.

3). Berilmu.

4). Sabar.

5). Tegas.

6). Disiplin.

7). Penuh pengabdian pada pekerjaan.

Diluar kedinasan.

1). Dapat dipercaya.

2). Penuh rasa tanggung jawab.

3). Menimbulkan rasa hormat.

4). Anggun dan berwibawa.

  1. Sari (Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi luhur atau berkelakuan tidak tercela.

Didalam Kedinasan :

1). Tawakal

2). Sopan

3). Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas.

4). Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan).

5). Tenggang rasa.

Diluar Kedinasan :

1). Berhati-hati dalam pergaulan hidup

2). Sopan dan susila

3). Menyenangkan dalam pergaulan

4). Tenggang rasa

5). Berusaha menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya.

  1. Tirta = air (yang membersihkan segala kotoran didunia) yang mensyaratkan hakim harus jujur.

Didalam kedinasan :

1). Jujur

2). Merdeka = berdiri diatas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang.

3). Bebas dari pengaruh siapapun juga.

4). Sepi ing pamrih.

5).Tabah.

Diluar Kedinasan :

1). Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan

2). Tidak boleh berjiwa mumpung

3). Waspada.

  1. Sikap Hakim.

Pegangan mengenai sikap hakim dibedakan dalam 2 (dua) bidang yaitu :

  1. Dalam Kedinasan, dibagi dalam 6 bagian :

1).  Sikap hakim dalam persidangan;

(a). Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku.

(b). Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau anti pati terhadap pihak-pihak yang berperkara.

(c). Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

(d). Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.

2).  Sikap hakim terhadap sesama  rekan;

(a). Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan.

(b). Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.

(c). Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim.

(d). Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik didalam maupun diluar kedinasan.

3).  Sikap hakim terhadap bawahan/pegawai;

(a). Harus mempunyai sifat kepemimpinan terhadap bawahan.

(b). Membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan.

(c). Harus mempunyai sifat sebagai seorang bapak/Ibu yang baik terhadap bawahan.

(d). Memelihara kekeluargaan antara bawahan dengan hakim.

(e). Memberi contoh kedisiplinan terhadap bawahan.

4).  Sikap hakim terhadap atasan;

(a). Taat kepada pimpinan atasan.

(b). Menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan oleh atasan dengan jujur dan iklas.

(c). Berusaha memberi saran-saran yang membangun kepada atasan.

(d). Mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan / mengemukakan pandapat kepada atasan tanpa meninggalkan norma-norma kedinasan.

(e). Tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.

5).  Sikap Pimpinan terhadap sesama rekan hakim;

(a). Harus memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya.

(b). Membimbing bawahan dalam pekerjaan untuk memperoleh kemajuan.

(c). Harus bersikap tegas, adil serta tidak memihak.

(d). Memberi contoh yang baik dalam perikehidupan, didalam maupun diluar dinas.

6).  Sikap hakim keluar/terhadap instansi lain.

(a). Harus memelihara kerjasama dan hubungan yang baik dengan instansi-instansi lain.

(b). Tidak boleh menonjolkan kedudukannya.

(c). Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.

(d). Tidak menyalahgunakan wewenang dan kedudukan terhadap instansi lain.

  1. Diluar Kedinasan, dibagi dalam 3 bagian :

1).  Sikap pribadi hakim sendiri;

(a). Harus memiliki kesehatan rohani dan jasmani.

(b). Berkelakuan baik dan tidak tercela.

(c). Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

(d). Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat.

(e). Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

2).  Sikap dalam rumah tangga;

(a). Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan yang tercela, baik menurut norma-norma hukum kesusilaan.

(b). Menjaga ketentraman dan keutuhan rumah tangga.

(c). Menyesuaikan kehidupan runah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.

(d). Tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.

3).  Sikap dalam Masyarakat.

(a). Selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat.

(b). Dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong royong.

(c). Harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

Sedangkan sikap-sikap lahiriah dari hakim sebagai seorang pemimpin persidangan, yaitu :

  1. Ing Ngarso Sung Tulodo.
  2. Ing Madyo Bangun Karso.
  3. Tut Wuri Handayani.

Agar sifat-sifat dan sikap-sikap hakim sebagaimana dikemukakan diatas dapat terwujud, diperlukan pembinaan jiwa korps hakim, yang meliputi :

  1. Hakim harus memegang teguh rahasia jabatan korps;
  2. Dilarang memakai nama korps untuk kepentingan pribadi atau golongannya;
  3. Hakim harus memupuk rasa setiakawan dan kekeluargaan.

Hal-hal tersebut menjadi kode etik profesi hakim yang harus ditaati. Namun ada pertanyaan lain yang muncul setelah kita membahas tentang kode etik tersebut. Pertanyaan itu ialah siapakh yang mengawasi pelaksaan kode etik tersebut? Apakah tindakan yang akan dilakukan jika ada pelanggaran terhadap kode etik tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga akan coba dijawab dalam pembahasan ini. Sebab sebagai sebuah pembahasan kode etik hakim, sangat penting juga untuk membahas pengawasan terhadap kode etik hakim tersebut.

Dalam melaksanakan kode etik profesi hakim, dibentuklah majelis kehormatan hakim. Majelis kehormatan hakim ini diadakan pada tingkat mahkamah agung dan pengadilan tinggi. Tugasnya ialah:

  1. Menegakkan ketentuan-ketentuan dalam Kode Kehormatan Hakim baik secara preventif, maupun secara Represif. Keputusan di dalam Majelis berdasarkan kebijaksanaan dengan mengutamakan cara musyawarah. Diupayakan jangan sampai terjadi suatu pelanggaran terhadap kode kehormatan (lebih baik pencegahan), jika terjadi pelanggaran dilakukan tindakan rehabilitasi dan usaha-usaha perlindungan.
  2. Majelis Kehormatan Hakim pada Mahkamah Agung menyelesaikan soal-soal yang menyangkut seorang hakim agung atau hakim tinggi.
  3. Majelis Kehormatan Hakim pada Pengadilan Tinggi  menyelesaikan soal-soal yang menyangkut  seorang hakim pengadilan negeri.

Dalam menjalankan pengawasan terhadap hakim sebenarnya terdapat lembaga-lembaga lainnya, yakni lembaga pengawasan internal dan lembaga pengawasan eksternal. Lembaga internal terdiri dari, WASKAT, WASNAL, dan Majelis kehormatan hakim. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh dewan kehormatan hakim.

Sedangkan sanksi bagi hakim yang melanggar kode etiknya ialah sebagai berikut :

  1. Memberikan rekomendasi jika ada laporan hakim tersebut melakukan perbuatan atau tindakan yang melanggar kode etik, adalah dengan melakukan Mutasi terhadap hakim tersebut ke daerah yang sangat terpencil, dengan harapan hakim tersebut akan mengambil pelajaran dari perbuatan yang telah dilakukan.

2. Bahkan ada yang dibebas-tugaskan sebagai hakim jika terlibat kasus atau perkara dan perkara tersebut diajukan di Pengadilan, biasanya hakim tersebut dibebas tugaskan terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung sampai perkara atau kasus yang ditangani selesai diputus di Pengadilan. Jika hakim tersebut terbukti bersalah maka akan dicopot atau dipecat dari jabatannya, tapi kalau tidak terbutki bersalah maka biasannya dilakukan rehabilitasi dan hakim tersebut  akan menjalankan tugasnya sebagai hakim seperti semula.

  1. Melakukan pemecatan atau pencopotan jabatan sebagai hakim jika ternyata menyalahgunakan  jabatannya yang diberikan kepadanya.

 

Ad. 2. Kasus Kode Etik Hakim

A. Kasus Hakim Syarifudin Umar

Hakim Syarifuddin Umar tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen, PT Skycamping Indonesia (SCI Syarifuddin Umar). Kasus ini memperlihatkan masih lemahnya pengawasan pada hakim. Hal ini menjadi salah satu tumpukan pekerjaan rumah (PR) Mahkamah Agung (MA). “Menurut saya ini terkait dengan isu pengawasan. Yang bersangkutan ini merupakan hakim karir lama, angkatan tua. Jangan-jangan ini ada keliru dalam rekrutmen dulu. Ini menjadi hal-hal yang dibenahi, khususnya oleh MA,” ujar peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (3/6/2011). Pengawasan, imbuh Hifdzil, tidak hanya dilakukan saat hakim sudah menjalankan tugasnya, namun juga kala rekrutmen dilakukan. Untuk itu, perlu juga peran dari Komisi Yudisial untuk mengawasi.

“Pengawasan pada hakim seolah menurun, baik internal maupun eksternal. Saya sungguh mengapresiasi KPK yang telah menangkap tangan. Dan saya berharap pengawasan KPK dimaksimalkan,” sambungnya.Hifdzil mengingatkan, tidak semua hakim berlaku sama dengan Syarifuddin. Menurutnya, Syarifuddin hanyalah oknum. Kendati tidak semua hakim berperilaku demikian, namun hal ini juga tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. “Ini menjadi catatan bagi MA untuk memperbaiki kinerja. Kalau dibiarkan akan menimbulkan ketidakpercayaan. Kalau tidak percaya lagi pada institusi hukum kita, maka rakyat akan main hakim sendiri,” tambahnya. Jika masyarakat sudah semakin sering main hakim sendiri, maka berita terkait anarkis akan semakin sering didengar. Hal ini tentunya akan merugikan negara.”Pengawasan pada hakim, kewajiban pertama ada di MA. Lalu juga menjadi tanggung jawab KY dan juga masyarakat untuk mengawasi,” ucap Hifdzil.

KPK telah resmi menetapkan Syarifuddin dan kurator berinisial PW sebagai tersangka dugaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen, PT Skycamping Indonesia (SCI). Keduanya dijerat pasal berlapis UU Tipikor. Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, selain menyita uang Rp 250 juta dan mata uang asing, KPK juga menyita ponsel dari tangan Syarifuddin. “Penyidik menemukan 2 barang bukti baru 2 buah ponsel yang didapat di tas S,” jelasnya, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jaksel, Kamis (2/6).

(http://www.detiknews.com/read/2011/06/03/181457/1652805/10/kasus-hakim-syarifuddin-salah-satu-tumpukan-pr-ma diakses 6 Juni 2011)

B. Analisis Kasus Hakim Syarifudin Umar

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan  antara sistem hukum dengan sistem social, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan variable yang mempunyai korelasi dan interpendensi dengan factor-faktor yang lain. Ada beberapa factor terkait yang menentukan proses penegakan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M Friedman, yaitu komponen substansi, struktur, dan cultural. Beberapa komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Kesemua factor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada factor yang lainnya . Dalam komponen tersebut hakim termasuk komponen “ Structur”

Hakim dimana dan kapan saja  diikat oleh aturan etik disamping aturan hukum. Aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.

Sehubungan teori tentang etika, Darji Darmodiharjo dan Sidharta dalam bukunya berjudul Pokok-Pokok Filsafat Hukum menulis: “Etika berurusan dengan orthopraxis, yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran) etika yang secara global bias dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologist (etika kewajiban) dan aliran telelogis (etika tujuan atau manfaat).”

Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno dengan istilah etika deskriptif.Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan peranan suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun etika khusus yang individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.

Telah jelas, etika yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kehidupan manusia, sangat berbeda dengan hukum yang bertolak dari salah benar, adil atau tidak adil. Hukum merupakan instrumen eksternal sementara moral adalah instrumen internal yang menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu etika disebut juga “disciplinary rules.” Sementara itu, dalam ranah etika, kode etik hakim yang dimaksudkan untuk memelihara, menegakkan dan mempertahankan disiplin profesi. Ada beberapa unsur disiplin yang diatur, dipelihara, dan ditegakkan atas dasar kode etik adalah sebagai berikut:

  1. Menjaga, memelihara agar tidak terjadi tindakan atau kelalaian profesional.
  2. Menjaga dan memelihara integritas profesi.
  3. Menjaga dan memelihara disiplin, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu:  :
    1. Taat pada ketentuan atau aturan hukum.
    2. Konsisten.
    3. Selalu bertindak sebagai manajer yang baik dalam mengelola perkara, mulai dari pemeriksaan berkas sampai pembacaan putusan.
    4. Loyalitas.

Lebih jauh dalam kode etik hakim atau biasa juga disebut dengan Kode Kehormatan Hakim disebutkan, bahwa hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat. Adapun lima perlambang sifat hakim tersebut tercakup di dalam logo hakim sebagai berikut:

1. Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.

2. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.

3. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.

4. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.

5. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.

Berdasarkan uraian diatas perbuatan hakim Syarifudin Umar yang menerima sejumlah uang sebesar  Rp 250 juta dan mata uang asing dari kurator pada kasus niaga yang dia tangani menunjukan moralitas hakim tersebut sangat buruk dan bertentangan dengan sifat air yang melukiskan sifat hakim yang harus jujur dan bersih dan bertentangan dengan sikap haki, meliputi: berkelakuan baik dan tidak tercela, tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

4. PENUTUP

 

Ad. 1. Kesimpulan

Dengan banyaknya kasus pelanggaran pada kode etik hakim di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya kode kehormatan hakim sudah tidak dianggap sebagai pedoman lagi. Kode kehormatan hakim hanya ada sebagai perhiasan teori untuk menarik kepercayaan masyarakat dan kemudian menjebak masyarakat sendiri demi kepentingan pribadi hakim-hakim kotor itu.

Masyarakat indonesia yang mayoritas buta huruf dan ekonomi rendah malah dimanfaatkan oleh hakim-hakim kotor. Nilai moral tampaknya sudah tidak lagi berpengaruh terhadap pribadi-pribadi keji yang menggunakan jubah kehormatannya untuk bersembunyi di balik keserakahan mereka. Norma agama dan bahkan kata etika tampak sudah jauh ditinggalkan hanya untuk mengejar kepentingan pribadi.

Ironis bagi seorang mahasiswa hukum untuk melihat kenyataan bahwa pendahulu atau senior-seniornya yang sedang bertugas malah melakukan hal yang bertolak belakang dengan teori yang dipelajari di universitas. Teriakan “Indonesia Maju” di media-media hanya menjadi teriakan hambar tanpa usaha dan tindakan nyata. Dominasi politik tampak lebih kuat hingga hukum tertinggal jauh di belakang.

Banyaknya kasuspelanggaran kode etik hakim ini menjelaskan bahwa lembaga-lembaga pengawas tampak bekerja namun tidak maksimal.

Ad. 2. Saran

Tidak layak bagi seorang mahasiswa hukum untuk menyerah pada kenyataan kotor ini. Masih ada harapan bagi masyarakat indonesia. Harapan itu terlihat jelas dari penangkapan hakim-hakim kotor itu. Tetapi harapan itu hanya akan menjadi harapan yang sebenarnya bila integritas dan profesionalitas pejabat negara lebih ditingkatkan.

Sanksi-sanksi yang sudah tidak menyeramkan bagi hakim-hakim seharusnya lebih diperhatikan untuk mencegah pelanggaran ini. Kerja yang sebelumnya belum maksimal seharusnya bisa lebih maksimal. Dana yang biasanya menjadi alasan para pejabat negara seharunya bisa lebih mudah didapatkan , mengingat pengawasan terhadap hakim merupakan hal yang sangat penting dalam menemukan keadilan. Terima kasih.

 

 

Bahasan Singkat Tentang Korupsi

 

BAB 1. PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang sering menjadi headline di media-media Indonesia sekarang. Pembahasan mengenai korupsi tak pernah habis sejak terjadinya reformasi di Indonesia. Pembahasan ini bahkan sepertinya telah menjadi perbincangan sehari-hari dalam masyrakat Indonesia. Menghadapi hal ini, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Berbagai upaya pun telah dilakukan. Salah satu upaya ialah dengan merevisi berbagai undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Bahkan upaya ini dilakukan hingga menaikkan gaji para pejabat Negara.

Banyaknya upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menjadi tanda bahwa Indonesia sedang serius ingin memberantas tindak pidana korupsi ini. Namun, dipandang dari sisi lain, banyaknya upaya ini menjadi bukti konkret bahwa di Indonesia sedang terjadi banyak kasus korupsi. Kasus korupsi ini membuat masyarakat Indonesia sendiri menjadi kurang percaya terhadap pemerintah Indonesia. Banyaknya pemberitaan di media mengenai demo di berbagai daerah di Indonesia menjadi bukti ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhapap pemerintah sejak kemerdekaan Indonesia.

Angka korupsi di Indonesia ternyata tidak hanya menarik perhatian nasional saja, dunia internasional pun meletakkan Indonesia pada urutan ke 118 dari 174 negara yang terdaftar dalam indeks persepsi korupsi. hal ini dimuat dalam situs resmi versi transparansi internasional tahun 2012 lalu. Namun, jika mengacu pada poin tiap Negara, maka Indonesia berada pada peringkat 56 negara terkorup di dunia. Indonesia hanya terpaut 24 poin dari Somalia yang menjadi Negara terkorup di dunia. Sementara itu, 54 poin merupakan jarak antara Indonesia dengan Denmark yang merupakan Negara paling bersih dari korupsi. pemberitaan ini dimuat dalam situs republika.co.id.

Sementara kerguian Negara akibat korupsi ini diperkirakan mencapai mencapai Rp39,3 triliun sepanjang 2004-2011. Pada 2011 terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang dengan kerugian Rp2,169 triliun. Satu hal menarik pada tahun 2011 ini, pelaku korupsi berjumlah 239 orang berlatar belakan sebagai pegawai negeri sipil, 190 berasal dari pimpinan atau direktur perusahaan swasta dan 99 orang berasal dari DPRD / DPR. Tentu saja , daftar ini sangat mengerikan bagi masyarakat Indonesia. Sementara pada tahun 2013 ini,  terjadi berbagai kasus korupsi yang muncul di media. Dari simulator sim hingga kasus hambalang kian gencar muncul dalam pemberitaan.

Menurut situs kompasiana, telah banyak terjadi kasus korupsi di kantor pajak yang merupakan sumber utama anggaran Negara. Ada pun kasus-kasus yang telah terdaftar :

1.  Yudi Hermawan dkk dari Kantor Pelayanan Pajak Karawang yang diduga menerima suap dari wajib pajak PT first media Tbk.

2. Eddy Setiadi dkk dari Kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak Jawa Barat yang menerima suap dari Bank Jabar

3. Gayus Tambunan dkk dari direktorat keberatan dan banding yang diduga merugikan negara dalam penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal

4. Bahasyim Assifie ytang menerima suap dari kartini mulyadi (lawyer)

5. Dhana Widyamika dkk dari Kantor Pelayanan Pajak Pancoran dan Palmerah yang diduga menerima suap dari PT Kornet Trans Utama dan PT Mutiara Virgo

6. Tommy Hindratno yang menerima suap dari konsultan pajak PT Bhakti Investama

7. Anggrah Suryo yang menerima suap dari PT Gunung Emas Abad.

Kasus-kasus tersebut tentu merupakan suatu hal yang ironis. Para pegawai pajak yang seharusnya menjadi orang-orang yang pantas dipercayai rakyat Indonesia malah menjadi dalang dari kasus korupsi. banyaknya kasus ini membuat masyarakat berpikir bahwa kasus korupsi di Indonesia “mustahil” untuk diberantas.

Berbagai macam kasus inilah yang menjadi bukti bahwa kasus dan penyelesaian tindak pidana korupsi ini perlu ditinjau kembali.

 

B.   Rumusan Masalah

Tindak pidana korupsi telah lama dikriminalisasikan di Indonesia. Sejak disahkannya undang-undang tindak pidana korupsi telah terjadi banyak tindakan revisi terhadap undang-undang tentang tindak pidana korupsi itu sendiri. Namun hingga kini masih terlihat banyak kasus korupsi yang diberitakan media. Hasil revisi undang-undang itu seolah tak bermanfaat apapun dalam perkembangan kasus korupsi di Indonesia. Dari uraian singkat ini, muncul berbagai pertanyaan yang mungkin bisa merumuskan permasalahan tentang korupsi ini. Yakni:

1.    Bagaimanakah peran pemerintah Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?

2.    Bagaimana penerapan aturan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia?

3.    Bagaimana kesiapan masyarakat Indonesia dalam menghadapi kasus korupsi yang sering terjadi di Indonesia ?

4.    Solusi apa yang dipandang tepat dalam pemberantasan kasus korupsi di Indonesia?

5.    Apa dampak-dampak tindak pidana korupsi?

 

C.   Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini ialah sebagai berikut:

1.    Untuk memenuhi tugas mata kuliah tindak pidana khusus.

2.    Memahami lebih jauh tentang tindak pidana korupsi.

3.    Mengetahui dan meninjau kembali upaya-upaya pemberantasan korupsi.

4.    Partisipasi penulis sebagai mahasiswa dan sebagai warga Negara Indonesia

5.    Mencari solusi tepat untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

6.    Mengetahui dampak-dampak korupsi

 

D.   Manfaat Penulisan

Ada berbagai manfaat bagi bagi seorang pembaca untuk satu tulisan sederhana yang dibacanya. Namun, setidaknya ada beberapa manfaat yang menurut penulis dapat diambil oleh pembaca dalam tulisan singkat tentang tindak pidana korupsi ini, yakni:

1.    Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang tindak pidana korupsi.

2.    Pembaca dapat mengetahui dan memahami pentingnya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sering terjadi di Indonesia.

3.    Pembaca dapat bekerja sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

4.    Pembaca dapat memahami dampak-danpak tindak pidana korupsi.

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

A.   Pengertian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah:

1).Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

2).menyelewengkan; menggelapkan (uang dsb).

Korupsi sebenarnya  berasal dari kata bahasa Latin yakni corruptio, dari kata kerja corrumpere yang memiliki arti busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, memutarbalik. Secara harafiah, korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Sedangkan definisi korupsi secara singkat ialah penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain. Namun dalam perkembangannya, masyarakat Indonesia tidak hanya memandang korupsi dalam arti yang konvensional saja, tetapi dalam pandangan masyarakat Indonesia juga memandang korupsi mencakup politik dan administrative. Misalnya saja, dengan memanfaatkan kedudukannya, seorang pejabat menguras uang pembayaran tidak resmi dari orang lain.

Tindakan korupsi merupakan tindak pidana yang biasa dilakukan dengan motif kepuasan ekonomi bagi pelaku. Kepuasan ini bergantung pada pelaku, sejauh mana ia merasa puas dengan keadaan ekonominya menjadi ukuran alasan mengapa seorang berani melakukan tindak pidana korupsi. bahkan tindak pidana korupsi ini telah termasuk dalam politik. Menurut situs Wikipedia Indonesia, dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1.    Perbuatan melawan hukum,

2.    Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

3.    Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

4.     Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

 

B.   Macam–macam korupsi

 

B.1. Korupsi Berdasarkan motif

Tindak pidana korupsi dilakukan dengan berbagai alasan. Alasan yang paling logis dan mudah ditebak ialah alasan kepuasan ekonomi bagi pelaku. Namun dalam penyelidikannya ternyata ada berbagai motif dan alasan dari koruptor untuk melakukan tindak pidana itu.

Berdasarakan motif para koruptor, korupsi pun dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni:

1.    Corruption by Greed

Tidak semua koruptor melakukan tindak pidana korupsi karena keserakahannya. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh koruptor dalam konteks corruption by greed ini , dilakukan karena alasan keserakahan dari pelaku korupsi. keserakahan pelaku korupsi ini berkaitan dengan rakusnya koruptor ini. Artinya koruptor ini bisa saja sudah memiliki harta yang banyak namun karena kerakusannya ia tetap melakukan tindak pidana korupsi. bagi koruptor yang melakukan tindak pidana ini, meski hatanya sudah terbilang mencukupi, namun ia masih ingin menambah hartanya karena merasa hartanya itu masih belum cukup.

2.    Corruption by Opportunities

Dalam menetapkan undang-undang tertentu , tentu pasti terdapat kelemahan dan kelebihan dari undang-undang itu jika ditelaah lebih jauh. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh koruptor dengan motif ini. Dengan kata lain koruptor ini, melakukan tindak pidana korupsi karena adanya peluang dari kelemahan-kelemahan undang.

Meskipun undang-undang itu sempurna, pelaksanaan undang-undang itu pun belum tentu sempurna. Ketidaksempurnaan ini bisa saja terjadi baik dari sisi pengawasannya maupun dari biorokrasi yang belum jelas. Celah-celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku korupsi ini.

3.    Corruption by Need

Dalam situasi ekonomi yang tidak memuaskan orang dapat melakukan tindakan yang bahkan dirinya sendiri belum siap untuk melakukan tindakan itu. Demi memenuhi kebutuhan ekonomi orang dapat melakukan apapun. Dalam konteks ini, koruptor melakukan tindak pidana korupsi karena memang sungguh-sungguh membutuhkan, sehingga ia melakukan tindak pidana korupsi dengan keadaan yang terpaksa.

4.    Corruption by Exposures

Ada berebagai macam sanksi dalam tindak pidana korupsi. namun, ada sanksi-sanksi yang dirasakan kurang berat. Sanksi-sanksi yang kurang berat ini kemudian menjadi motivasi bagi koruptor untuk melakukan aksinya. Sanksi-sanksi yang kurang tegas dipandang sebagai peluang, sehingga meskipun telah berulang kali ditahan dan dihukum, pelaku tetap ingin kembali melakukan perbuatan korupsi.

 

B.2. Korupsi Berdasarkan undang-undang

Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni:

1.    Merugikan keuangan negara;

2.    Suap-menyuap;

3.    Penggelapan dalam jabatan;

4.    Pemerasan;

5.    Perbuatan curang;

6.    Benturan kepentingan dalam pengadaan;

7.    Gratifikasi.

7 jenis korupsi ini sebenarnya telah diperinci lagi menjadi 30 jenis tindak korupsi dan Tindak Pidana Lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi berjumlah 6 jenis.

 

B.3. Korupsi Berdasarkan cara

Selain itu, ada pula macam-macam tindak pidana korupsi yang dikategorikan berdasarkan cara-cara koruptor itu dalam melakukan tindak pidana korupsi. jenis-jenis korupsi itu antara lain:

1.    korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi antara dua pihak dalam bentuk kesepakatan, dimana yang memberi dan yang diberi sama-sama mendapatkan keuntungan.

2.    korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang dilakukan dengan pemaksaan oleh pejabat, sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar, si pemberi tidak ada pilihan lain selain melakukan hal yang dipaksakan.

3.    korupsi investif, yaitu korupsi yang dilakukan seorang pejabat dengan cara menginvestasikan sesuatu karena adanya janji atau iming-iming yang akan didapatnya di masa yang akan dating.

4.    korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena adanya perlakuan khusus bagi keluarganya atau teman dekat atas sesuatu kesempatan mendapatkan fasilitas.

5.    korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan, dengan jalan memberikan informasi kepada pihak luar yang sebenarnya harus dirahasiakan.

6.    korupsi suportif, yaitu korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi tindak korupsi yang mereka lakukan secara kolektif.

 

C.   Sebab-sebab Korupsi

Korupsi tentu dilakukan dengan alasan yang beraneka ragam. Setiap koruptor mempunyai alasannya masing-masing jika berkaitan dengan pertanyaan mengapa mereka melakukan korupsi. namun secara garis besar ada beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan itu kemudian dirangkum menjadi:

1.    Keadaan ekonomi yang tidak memuaskan, termasuk gaji yang kurang memuaskan.

2.    Kurangnya sumber daya manusia yang mempunyai sikap profesionalitas dan integritas yang tinggi

3.    Lemahnya kepemimpinan dalam suatu oraganisasi atau struktur sehingga pengawasan terhadapa bawahan menjadi lemah.

4.    Kurangnya tindakan hukum yang tegas. Sanksi-sanksi dan aturan-aturan yang tidak tegas membuat koruptor tidak akan merasa jera dalam melakukan tindakan yang sama, yakni korupsi.

5.    Kurangnya kebebasan berpendapat di Indonesia. Kebebasan berpendapat di Indonesia masih dikekang oleh banyak pihak.

6.    Kurangnya transparansi dalam hukum Indonesia. Transparansi ini mencakup juga keadaan ekonomi para pejabat yang tidak jelas asal usulnya. 

7.    Masyarakat yang kurang berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. masyarakat Indonesia juga berpendidikan rendah sehingga mudah dibohongi dan bahkan tidak tertarik untuk memberantas korupsi.

8.    Kurangnya seminar atau sosialisasi tentang dampak negative korupsi dan kurangnya control social dalam pemberantasan korupsi.

 

D.   Cara Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Korupsi merupakan satu tindak pidana yang sudah meraja lela di Indonesia. Tentu hal ini membuat kita merasa sulit untuk memberantas tindak pidana korupsi. namun, sebenarnya semua tindak pidana tidak akan sulit diberantas jika kita semua sadar akan pentingnya patuh terhadap aturan dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi tentu saja, sebagai manusia normal, kita tentu pasti melakukan kesalahan entah disengaja atau tidak.

Namun , secara realistis , tindak pidana di Indonesia tentu sangat sulit untuk diberantas. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa tindak pidana korupsi ini sudah mustahil untuk diberantas. Meskipun seolah menjadi mustahil bagi sebagian orang, tentu pencegahannnya harus tetap dipertahankan dan dilakukan.

Pencegahan ini dilakukan dengan tahap pendekatan sebagai tahap awal. Pendekatan-pendekatan itu harus dilakukan dengan memperhatikan motif dan alasan terjadinya tindak pidana korupsi itu.  Pendekatan-pendakatan itu ialah:

1.    Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi.

2.    Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi

3.    Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Setelah mendapatkan pendekatan yang tepat, maka tahap kedua yang perlu dilakukan ialah dengan menetukan strategi yang tepat untuk memberantas korupsi. ada beberapa strategi dalam pemberantasan korupsi, antaranya:

1.    strategi preventif

Strategi ini menjurus kepada alasan orang melakukan tindak pidana korupsi., terlepas itu peluang dari kelemahan aturan ataupun karena keadan ekonomi. Dengan kata lain, strategi ini mencegah sejak munculnya keadaan-keadaan yang mendukung terjadinya korupsi. strategi ini cukup merepotkan karena diperlukan banyak pihak untuk bisa bekerja sama dalam rangka mencapai kesuksesan strategi ini.

2.    Strategi deduktif

Strategi ini dilakukan bila tindak pidana korupsi ini sudah terlanjur terjadi. Dengan menggunakan strategi ini, diharapkan tindak pidana korupsi dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya. Dengan demikian struktur kenegaraan harus jelas dan profesionalitas serta integritas dari aparatur harus di atas standar. Strategi ini membutuhkan ketegasan dalam pemberian sanksi dan disiplin dari penegak hukum. dalam situasi seperti ini, diharapkan ilmu politik dan social serta ilmu ekonomi harus mempunyai disiplin yang sesuai standar. Jika tidak sesuai standar, maka strategi ini tidak akan berjalan dengan baik.

3.    Strategi Represif

Strategi ini lebih mengarah kepada sanksi yang diberikan kepada koruptor. Dengan kata lain strategi ini dilakukan jika tindak pidana korupsi itu telah dilakukan. Sanksi yang diberikan harus berat dan pengawasan terhadap realisasi dari sanksi itu pun harus ketat. Sehingga, diharapkan setelah menjalani sanksi ini, maka koruptor akan merasa jera. Selain itu, dengan melihat sanksi yang berat, orang-orang dapat mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Dari strategi-strategi ini dibentukluh berbagai konsep baru untuk memberantas korupsi. konsep-konsep ini ada yang berupa campuran dari ketiga strategi ini. Dengan demikian pemerintah mempunyai banyak pilihan untuk menentukan baimana korupsi diberantas sesuai dengan keadaan yang ada dalam negaranya masing-masing. Konsep-konsep baru tersebut ialah

1.    Konsep carrot and stick, yakni onsep yang merupakan gabungan dari strategi preventif dan represif. Konsep ini memberikan pendapatan yang memaadai bagi aparatur Negara sesuai pendidikan dan pangkat sehingga aparatur dapat hidup lebih dari mencukupi. Pemberian ini biasa disebut carrot. Sedangkan stick merupakan pemberian sanksi yang seberat-beratnya jika aparatur dnegara itu masih tetap melakukan korupsi. konsep ini diterapkan di RRC dan di singapure.

2.    Gerakan masyarakat anti korupsi, yakni gerakan-gerakan yang dipimpin oleh organisasi-oraganisasi tertentu untuk menekan pemerintah agar segera memberantas korupsi.

3.    Gerakan Pembersihan yaitu menciptakan semua aparat hukum yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan.

4.    Gerakan Moral yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Gerakan ini membutuhkan banyak dana di Indonesia karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan merupakan Negara kepulauan.

5.    Gerakan Pengefektifan Birokrasi yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.

Partisipasi masyarakat juga menjadi hal yang sangat menentukan dalam pemberantasan korupsi sebagai kontroil social. Masyarakat dituntut harus mampu untuk melihat dan menganalisis korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Sehingga pemberantasan dilakukan lebih mudah. Masyarakat harus berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill.

 

E.    Dampak-dampak Korupsi

Ada berbagai macam dampak korupsi di Indonesia yang telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi tidak hanya menjadi momok menakutkan bagi satu bisang saja. Korupsi yang telah berkembang membuat berbagai bidang di Indonesia menjadi lemah. Bidang yang paling banyak dirugikan oleh tindak pidana korupsi ini ialah bidang ekonomi. Namun, ternyata jika ditelaah lebih jauh maka dapat ditemukan bidang-bidang lain yang dirugikan oleh tindak pidana korupsi. dampak-dampak korupsi ini antara lain:

1.    Demokrasi

Demokrasi di Indonesia menjadi terancam sejak maraknya kasus korupsi karena korupsi itu merusak proses formal atau prosedur hukum yang ada di Indonesia. Dengan dirusaknya prosedur hukum di Indonesia , maka pembangunan kemudian tidak berjalan sesuai perencanaan. Dengan begitu, pelayanan terhadap masuyarakat menjadi tidak seimbang. Tidak seimbangnya pelayanan ini pun bukan menjadi satu-satunya akibat dari hancurnya prosedur formal, bahkan kepemimpinan pun yang tidak dipilih sesuai prestasi menjadi akibat lain dari hancurnya prosedur formal. Dengan beigitu system demokrasi di Indonesia menjadi timpang.

2.    Ekonomi

Bidang yang paling dirugikan oleh tindak pidana korupsi ialah bidang ekonomi.  Seperti yang telah dibahas di awal kerugian akibat korupsi ini mencapai Rp39,3 triliun. Angka ini sudah cukup menjelaskan kerugian ini sudah sangat terasa. Padahal jika uang itu digunakan untuk pembuatan jalan di bidang transportasi dan mengembangkan pariwisata di Indonesia, tentu Rp39,3 triliun itu bukan menjadi kerugian lagi tetapi bisa menjadi keuntungan. Al hasil rakyat Indonesia menjadi semakin miskin dan tidak berpendidikan.

3.    Kesjahteraan umum

`Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Sehingga kesejahteraan umum menjadi timpang karena pemerintah hanya mementingkan pihak-pihak tertentu.

4.    Politik

Situs Wikipedia juga memuat bahwa korupsi dipakai juga sebagai alat politik untuk melemahkan lawan politik. Cara yang digunakan ialah dengan membuat isu tuduhan korupsi terhadap lawan politik mereka. Contoh yang diberikan ialah di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka. Tentu saja hal ini dapat memperbodoh orang Indonesia yang pendidikannya masih rendah.

5.    Dampak psikis orang-orang terdekat dari pelaku korupsi

Keadaan psikis mungkin tidak terpikirkan oleh orang banyak. Namun tak dapat dipungkiri, anak-anak dari pelaku korupsi yang belum tahu apa-apa bisa saja terpengaruh oleh pemberitaan tentang orang tua mereka yang melakukan tindak pidana korupsi. meskipun ini dipandang sebagai sanksi moral, namun anak-anak pun belum mengerti mengenai tindak pidana korupsi menjadi korban lain dari hasil kebodohan orang tuanya.

6.    Terbukanya kemungkinan dilakukannya tindak pidana lain

Tindak pidana lain yang kemungkinan besar dilakukan oleh koruptor ialah tindak pidana pencucian uang. Tentu saja uang hasil kejahatan korupsi ini akan disembunyikan oleh koruptor dalam bentuk-bentuk investasi ataupun dalam bentuk-bentuk lain. Sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang yang sedang diperhatikan dunia internasional. tindak pidana pencucian uang ini mengancam keseimbangan perekonomian internasional.

F.    Upaya-upaya pemerintah dalam memberantas korupsi

Sejak munculnya tindak pidana korupsi, pemerintah juga telah melakukan berbagai macam upaya untuk memberantas dan mencegah terjadinya korupsi di Indonesia. Upaya-upaya itu antara lain :

1.    Kriminalisasi tindak pidana korupsi

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, korupsi belum menjadi ancaman serius bagi Negara. Namun, kian berkembangnya Negara Indonesia, semakin banyak juga kasus korupsi yang ditemukan. Kriminalisasi tindak pidana korupsi ini sudah ada sejak tahun 1945 dimana Indonesia merdeka. Pada saat itu, dasar hukumnya ialah Dasar hukum yang digunakan adalah KUHP terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri (ambtenaar), yaitu pada Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan terdapat dalam Buku Kedua KUHP.

Revisi undang-undang tindak pidana korupsi sudah terjadi sejak lama. Pada tahun 1957 hingga 1960 banyak peraturan yang muncul untuk mengatur tentang korupsi, antaranya :

·         Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 (tata kerja menerobos kemacetan memberantas korupsi).

·         Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957   (pemilikan harta benda).

·         Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957   (penyitaan harta benda hasil korupsi, pengusutan,        penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi).

·         Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AD No.           PRT/PEPERPU/031/1958.

·         Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No. PRT/z.1/I/7/1958

Pada masa 1960 – 1971 dibuatlah UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. namun, undang-undang ini dianggap gagal karena :

ü  Masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada perumusannya dalam UU sehingga tidak dipidana

ü  Pelaku korupsi hanya pegawai negeri

ü  Sistem pembuktian yang lama dan menyulitkan.

Sedangkan pada masa 1971 – 1999 dibuatlah revisi terhadap UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan dibentuk UU baru sebagai pengganti yakni UU No. 3 Tahun 1971.

Dan pada tahun 1999 hingga sekarang, dibentuk undang-undang baru yakni UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

2.    Penyempurnaan perumusan dalam tindak pidana korupsi

Penyempurnaan ini dilakukan dengan berbagai cara, antaranya :

o   Perluasan perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dan UU sebelumnya

o   Percobaan dan permufakatan jahat dianggap sebagai delik selesai pada tahun 1971

o   Menyempurnakan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif)

o   Penegasan perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil

o   Memperluas pengertian pegawai negeri.

 

3.    Pembentukan lembaga-lembaga anti korupsi

Dalam perkembangannya, ada banyak pembentukan lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk memberantas korupsi.  lembaga-lembaga itu antara lain :

§  Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada tahun 1957 – 1960.

§  Masa 1960 – 1971 dibentuk :

Operasi Budhi y di bentuk dengan mengunakan Keppres No. 275/1963

Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani

Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967

Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970

Komite Anti Korupsi/KAK (1967)

§  Masa 1971 – 1999 dibentuk : Dibentuk Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977), Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali (1982), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/KPKPN (Keppres 127/1999)

§  Dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/TGTPK (PP 19/2000), KPK (UU 30/2002).

4.    Menaikkan gaji pegawai negeri

5.    Pmberian fasilitas kepada pejabat Negara.

 

 

G.   Hambatan-hambatan pemberantasan korupsi di Indonesia

 Dalam perkembangannya, tentu ada hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Hambatan-hambatan itu antara lain :

1.    Pendidikan rendah masyarakat Indonesia.

Pendidikan yang rendah dari masyarakat Indonesia seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Indonesia. Pendidikan rendah ini membuat masyarakat tidak mengerti bahasa-bahasa media yang tidak sederhana sehingga sulit dimengerti oleh masyarakat Indonesia. Dan berujung pada kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia. Sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan pemerintah dengan bahasa-bahasa yang tinggi pun tidak dimengerti oleh masyarakat dan bahkan tidak menarik perhatian rakyat.

2.    Kebudayaan masyarakat Indonesia

Cara kekeluargaan merupakan cara yang seharusnya menjadi cara yang diutamakan dalam mengatasi masalah dalam masyrakat Indonesia. Namun kebudayaan ini , justru meluas tidak hanya dalam mengatasi masalah tetapi juga untuk menggapai keuntungan pribadi. Contoh konkret saja, polisi lalu lintas yang direkam dan di masukkan dalam situs youtube.com oleh korban penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi lalu lintas.

3.    Aparatur Negara

Data yang menyatakan pada tahun 2012 lalu bahwa pelaku korupsi berjumlah 239 orang berlatar belakan sebagai pegawai negeri sipil, tentu menjadi bukti nyata akan kurangnya integritas dan profesionalitas aparatur Negara Indonesia. Sehingga perlu dilakukannya perbaikan dalam tubuh pemerintah itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III PENUTUP

 

A.   Kesimpulan

Tindak pidana korupsi di Indonesia kian memburuk dan mempengaruhi berbagai bidang di Indonesia. Tindak pidana korupsi ini didukung oleh berbagai situasi dan kondisi di Indonesia, bahkan didukung oleh kelemahan undang-undang tentang korupsi itu sendiri. Korupsi akan berdampak pada masarakat luas serta akan merugikan Negara. Jadi perlu partisipasi masyrakat dan upaya yang serius dari pemerintah untukk mengatasi tindak pidana korupsi ini.

B.   Saran

Setelah mengkaji teori tentang korupsi, penulis ingin menyampaikan saran agar membantu pemberantasan korupsi :

1.    Profesionalitas dan integritas dari pejabat Negara harus ditingkatkan.

2.    Sanksi bagi pelaku korupsi harus lebih berat lagi

3.    Sosialisasi dan pelatihan bagi pejabat Negara harus ditingkatkan

4.    Menutup celah-celah dalam undang-undang korupsi.

5.    Partisipasi masyarakat Indonesia.

KETEPATAN KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG DIHADAPKAN PADA KONDISI MASYARAKAT INDONESIA SEKARANG INI

BAB 1. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

Pada tanggal 27 April 2002 lalu, Indonesia melakukan pengesahan undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang. Setahun kemudian, pemeritah dan legislatif harus merevisi UU tersebut dan hadirlah Undang- undang nomor 25 tahun 2003 tentang TPPU. Kehadiran UU ini karena adanya ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam UU sebelumnya yang masih dianggap lemah. Pengesahan undang-undang ini tentu merupakan langkah yang sangat berani bagi Indonesia, karena saat itu belum banyak orang yang mengetahui tentang pencucian uang itu sendiri. Hanya orang-orang yang berpendidikan sangat tinggi, berwawasan internasional, dan sering berkecimpung di bidang hukum pidana saja yang mengetahui tentang pencucian uang. Namun kriminalisasi pencucian uang saat itu tetap diakukan dengan berbagai pertimbangannya.

 Pencucian uang merupakan kejahatan yang dilakukan di atas kejahatan lain atau biasa disebut follow-up crime untuk menyembunyikan hasil kejahatan dengan cara yang seolah-olah sah secara hukum. Ini membuktikan juga bahwa pelaku tindak pidana pencucian uang selalu berusaha mengelabui hukum. Sehingga pelaku-pelaku itu memerlukan strategi yang sangat teliti dan detail jika tidak ingin tertangkap. Dengan demekian, dapat dipastikan bahwa pelaku-pelaku kejahatan pencucian uang merupakan orang-orang yang berpengalaman dan sudah mempunyai strategi untuk mengelabui hukum di Indonesia. Jadi untuk dapat menjerat pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang tentu tidaklah gampang. Indonesia juga harus menyiapkan undang-undang yang teliti dan detail agar pelaku-pelaku pencucian uang itu pun dapat terjerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang pencucian uang itu sendiri.

Kenyataannya sampai sekarang pun, Indonesia hanya memiliki sedikit orang yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas untuk berkecimpung dalam bidang tindak pidana pencucian uang. Tidak mengherankan jika ada yang meragukan ketepatan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang. Orang-orang tidak meragukan kemampuan para ahli yang berkecimpung dalam undang-undang pencucian uang, tetapi yang diragukan ialah kesiapan masyarakat Indonesia sekarang untuk menerima kriminalisasi pencucian uang ini.

Meskipun masyarakat Indonesia diharuskan siap untuk menerima kriminalisasi pencucian uang ini, namun tak dapat dipungkiri bahwa kesiapan masyarakat Indonesia juga harus dipertimbangkan dalam melihat  kriminalisasi pencucian uang. Maksudnya, kriminalisasi pencucian uang memang sudah tepat dilakukan, tetapi bagaimana kesiapan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan undang-undang pencucian inilah yang harus diperhatikan juga. Sebab dalam berbagai bidang kehidupan, masyarakat Indonesia masih terhitung lemah, misalnya dalam bidang intelektual dan ekonomi.

 

B.    Rumusan Masalah

 

Kriminalisasi pencucian uang tentu menjadi keharusan bagi Indonesia sebagai suatu Negara hukum. Apalagi kriminalisasi pencucian uang ini mempunyai peran penting dalam mengatasi berbagai tindak pidana yang ada di Indonesia. Misalnya saja, tindak pidana yang sedang marak dalam perbincangan media di Indonesia yakni korupsi dan narkotika. Tidak hanya itu, dalam buku Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering) karya Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH juga dijelaskan bahwa kriminalisasi pencucian uang mempunyai paling tidak tiga alasan, yakni :

1.    Mengatasi masalah narkotika dan korupsi.

2.    Menjaga hubungan dengan lembaga-lembaga Internasional.

3.    Penegakan undang-undang itu sendiri.

Namun, peran kriminalisasi pencucian uang harus dihadapkan pada kesiapan masyarakat Indonesia sendiri, baik dari segi intelktual maupun dari segi peradaban masyarakat Indonesia yang belum merata di setiap wilayah. Tentu saja perbenturan ini menimbulkan dampak kepada orang-orang di Indonesia untuk sejauh mana dalam melaksanakan hukum di Indonesia.

Dari uraian singkat di atas, muncullah permasalahan-permasalahan seperti berikut:

1.    Bagaimana peran kriminalisasi pencucian uang terhadap kondisi masyarakat Indonesia sekarang?

2.    Bagaimana hubungan kriminalisasi pencucian uang dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang?

3.    Bagaimana kesiapan masyarakat Indonesia sendiri terhadap kriminalisasi pencucian uang?

 

C.   Tujuan Penulisan

 

Penulisan ini mempunyai beberapa tujuan, antaranya:

1.    Mengetahui pemahaman tentang hukum sejauh mana pemahaman masyarakat Indonesia tentang kriminalisasi pencucian uang di indonsia

2.    Memahami kriminalisasi pencucian uang sebagai salah satu upaya menekan tindak pidana korupsi dan narkotika di Indonesia.

3.    Meninjau kembali ketepatan kriminalisasi pencucian uang terhadap pemahaman masyarakat Indonesia pada saat ini.

4.    Pemenuhan tugas kuliah Tindak Pidana di Bidang Ekonomi

5.    Partisipasi penulis sebagai mahasiswa dan warga Negara Indonesia.

 

D.   Manfaat Penulisan

 

Adapun beberapa manfaat dari penulisan ini, yakni:

1.    Pembaca dapat mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat tentang kriminalisasi pencucian uang.

2.    Pembaca dapat mengetahui pentingnya kriminalisasi pencucian uang

3.    Pembaca dapat memahami adanya kriminalisasi pencucian uang

4.    Meningkatkan pengetahuan tentang pencucian uang.

 

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

A.   Pencucian Uang

 

Salah satu ahli pencucian uang yang paling terkenal di indonesia ialah Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH yang menyelesaikan desertasinya mempelajari 600 jurnal dan 250 putusan tentang pencucian uang di Amerika Serikat. Tentu saja tidak akan ada yang meragukan kemampuannya lagi. Bahkan Dr. Yenti Garnasih, SH, MH sudah tercatat dalam sejarah pendidikan Indonesia sebagai penulis buku Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Dalam bukunya yang berjudul Kriminalisasi Pencucian Uang itu, Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH memberikan pengertian tentang pencucian uang, yakni sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius , korupsi , pengelakan pajak, judi, penyelundupan, dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang nampak sah agar dapat digunakan dengan aman. Pengertian ini sudah cukup jelas untuk menerangkan secara singkat tentang arti dari pencucian uang itu sendiri.

Istilah pencucian uang itu sendiri sebenarnya merupakan istilah yang merujuk pada tindakan para pelaku pidana untuk mencuci uang hasil kejahatan atau uang kotor menjadi bersih. Dengan kata lain, pelaku pidana pencucian uang membuat uang hasil kejahatan itu seolah-olah merupakan hasil kerja keras yang sah atau halal. Tujuannya cukup sederhana, yakni menghindari penyitaan terhadap uang kotor tersebut. Sehingga bila kejahatan yang dilakukan untuk menghasilkan uang kotor itu sudah terbongkar, uang kotor itu sendiri tidak dapat disita karena sudah seperti uang yang didapatkan secara halal.

Dalam buku kriminalisasi pencucian uang juga dijelaskan, ada tiga tahap dalam melakukan pencucian uang, yakni placement, layering, dan integration. Ketiga tahap ini dapat terjadi dalam satu transaksi ataupun dalam transaksi-transaksi berbeda.

Tahap pertama ialah placement, dimana uang disimpan dalam bentuk yang tingkat kecurigaan terhadap cara memperolehnya mulai berkurang. Contohnya uang itu disimpan di bank, asuransi, dan lain-lain.

Tahap kedua ialah layering, dimana uang kotor yang tadinya disimpan digunakan kembali oleh pelaku untuk melakukan transaksi-transaksi baru, sehingga sumber dari uang kotor itu dapat disembunyikan. Contohnya, uang kotor itu dikirim dan disimpan kembali di bank luar negri, sehingga semakin sulit untuk melacak kembali uang itu, karena adanya hak dari bank untuk menahan informasi tentang nasabahnya. Dengan kata lain, bank tersebut dapat mengintervensi pelacakan terhadap uang kotor itu.

Tahap ketiga ialah integration, dimana uang yang disimpan di bank luar negri itu ditarik kembali untuk digunakan dalam transaksi baru yang sah. Namun,ada banyak cara untuk melakukan penarikan uang dari bank luar negri tersebut, antaranya ada  yang melakukannya dengan cara loan-back. Cara loan back ini cukup sederhana, misalnya uang kotor yang disimpan di bank “A” luar negri berjumlah 5 juta dollar AS, maka pelaku kemudian melakukan peminjaman kepada bank itu sejumlah 5 juta dollar AS juga. Sehingga, uang kotor itu seakan-akan berasal dari transaksi peminjaman yang sah dari bank “A”. Dengan begitu pelaku dapat leluasa melakukan transaksi baru yang memang sah secara hukum. Kemudian  transaksi baru yang dilakukan pelaku menghasilkan uang yang bersih karena berasal dari transaksi yang sah.

Ada dua cara dalam melakukan  pencucian uang, yakni cara tradisional dan cara modern. Cara tradisional merupakan cara yang dilakukan dengan sangat rahasia. Cara ini biasanya dilakukan oleh jaringan tertentu, bahkan oleh etnik-etnik tertentu. Misalnya, hui (hoi) atau the china chit (chot) di china, hawala di india, dan hundi di Pakistan. Cara tradisional ini dilakukan dengan modal kepercayaan yang sangat kuat antara pihak-pihak yang berhubungan. Sehingga sangat sulit untuk dilacak peredaran uang kotor di kalangan masyarakat. Apalagi di antara cara-cara tradisional itu ada yang tidak menggunakan pembukuan sehingga tidak meninggalkan jejak pencucian uang. Bahkan dapat dikatakan cara ini mustahil untuk dibuktikan.

Sedangkan cara modern merupakan cara yang melibatkan bank dan teknologi canggih dalam melakukan proses pencucian uang. Misalnya, melalui transfer antar bank internasional dan penggunaan electronic money/ e-money. Cara modern ini biasanya mempunyai lima tahap yakni:

1.    Consolidation

2.    Externalization

3.    Agitation

4.    Legitimation

5.    Repatriation

Pada tahap consolidation, pelaku menggabungkan uang dari banyak sumber, kemudian pada tahap kedua, pelaku membuat simpanan pribadi dari uang yang telah terkumpul itu dan mengirimnya melalui transfer antar bank internasional ke bank yang berada di luar jangkauan penyidik hukum yang mengejar atau melacak uang itu.pada tahap agitation, uang kotor itu kembali digunakan dalam bentuk bisnis yang sah. Selanjutnya  uang itu menjadi uang yang Nampak halal atau sah. Dalam menjalankan cara modern ini, pelaku menggunakan teknologi canggih.

 

 

B.   Kriminalisasi pencucian uang

 

Kriminalisasi merupakan  proses mengkriminalkan suatu bentuk perbuatan. Dengan bahasa sederhananya, kriminalisasi merupakan suatu bentuk atau proses mengundang-undangkan suatu perbuatan atau usaha untuk mengatasi kejahatan. Dalam konteks hukum pidana, kriminalisasi identik dengan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal adalah upaya rasional dari suatu negara untuk mengatasi kejahatan yang pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya perlindungan masyarakat yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Secara umum kriminalisasi dilakukan dengan menggunakan dua sarana, yakni penal dan nonpenal. Sarana nonpenal ialah sarana yang tidak menggunakan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan penal ialah sarana yang menggunakan hukum pidana dalam proses menanggulangi kejahatan. Biasanya kriminalisasi menggunakan sarana penal ini meliputi dua hal, yakni:

1.    Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

2.    Sanksi apa yang diberikan kepada pelaku tindak pidana itu

Dalam prosesnya kriminalisasi mempunyai beberapa syarat, yakni :

1.    Adanya korban

2.    Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan

3.    Harus berdasarkan asas ratio principle

4.    Adanya kesepakatan social

Keempat syarat tersebut ditentukan setelah melalui pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional

2.    Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat

3.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

4.    Penggunaan hukum pidana harus juga memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.

Tujuan dari kriminalisasi itu sendiri, tidak boleh terlepas dari keseluruhan tujuan dari kebijakan criminal. Kriminalisasi juga merupakan pemenuhan dari asas legalitas dimana suatu perbuatan akan menjadi suatu persoalan bila telah diatur oleh undang-undang. Asas legalitas ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap warga Negara. Jadi untuk membentuk suatu undang-undang atau peraturan, harus dilakukan pembelajaran terhadap berbagai macam factor dalam kehidupan masyarakat. Sehingga , dapat diketahui hakikat dari perbuatan yang hendak diatur itu. Jadi dengan disahkannya undang-undang pencucian uang di Indonesia, maka dapat disimpulkan telah dilakukannya pembelajaran tentang pencucian uang itu dan pencucian uang itu sendiri telah berhubungan dengan berbagai factor dalam masyarakat Indonesia. Bahkan dapat dipastikan kriminalisasi pencucian uang ini pun telah memenuhi syarat kriminalisasi itu sendiri.

Tujuan dari kriminalisasi pencucian uang itu sendiri ialah:

1.    Untuk mengatasi masalah internasional yang serius, yakni masalah pencucian uang itu sendiri

2.    Kriminalisasi pencucian uang merupakan cara paling efektif dalam proses mencari pemimpin organisasi kejahatan

3.    Pelaku kejahatan pencucian uang lebih mudah ditangkap dibandingkan dengan pelaku kejahatan utamanya.

4.    Mencegah digunakannnya lembaga keuangan baik nasional maupun internasional dalam rangka pencucian uang.

Jadi kriminalisasi pencucian uang sebenarnya ialah salah satu usaha untuk menekan kriminalitas di Indonesia, khususnya kriminalitas yang ada di bidang ekonomi dan merupakan salah satu langkah efektif untuk menanggulangi kejahatan yang terorganisasi.

Namun, meskipun kriminalisasi pencucian uang ini dilakukan untuk mencegah dan menekan kriminalitas, ternyata kriminalitas juga menimbulkan masalah-masalah. Masalah-masalah ini pun tidak boleh dianggap remeh. Setidaknya ada dua masalah pokok dalam kriminalisasi pencucian uang menurut Ibu Dr. Yenti Garanasih, SH, MH , yakni kerahasiaan bank dan pembuktian. Kedua pokok permasalahan ini timbul secara otomatis dalam penerapan kriminalisasi pencucian uang. Sebab kedua permasalahan ini berhubungan sangat erat dengan kriminalisasi pencucian uang.

Kerahasiaan bank merupakan hal yang paling diunggulkan dalam jalannya lembaga keuangan bank itu sendiri. Kerahasiaan bank ini mencakup rahasia nasabah dan sebagainya. Bank harus menjamin keamanan dan kenyamanan informasi keuangan nasabah. Dan hal ini merupakan kewajiban setiap bank di mana pun. Namun dengan adanya kriminalisasi pencucian uang, maka kerahasiaan ini harus diperlonggar. Hal ini dibuktikan dengan keharusan bank untuk memberikan informasi kepada penegak hukum apabila diminta, tetapi bank pun tidak diperbolehkan memberikan hasil pemeriksaan itu kepada nasabah. Dengan diperlonggarnya kerahasiaan bank ini, maka tentu yang paling merasa dirugikan ialah nasabah atau konsumen, sebab mereka mempunyai hak privacy sebagai seorang nasabah.

Dengan begitu terjadi perbenturan antara kriminalisasi pencucian uang dan hak privacy nasabah. Perbenturan itu tidak lain ialah kewajiban bank untuk menjaga rahasia nasabah dan kebutuhan informasi tentang keuangan yang terlibat dalam criminal. Kebutuhan informasi ini tentu diperlukan karena semua persoalan dapat dipecahkan jika ada informasi tentang persoalan itu. Namun hak individu tetap harus dijaga oleh bank karena rahasia bank  merupakan prinsip bisnis dan kenfidensial.

Sedangkan masalah lain yang timbul seiring kriminalisasi pencucian ini ialah pembuktian. Pembuktian dalam kasus pencucian uang sangatlah sulit. Hal ini disebabkan pencucian uang merupakan kejahatan yang dilakukan di atas kejahatan lain atau istilah yang biasa digunakan ialah follow up crime. Dengan status follow up crime, maka secara otomatis pembuktian terhadap kejahatan awal harus dibuktikan lebih dahulu. Misalnya saja dalam kasus narkotika, ada dua tugas yang harus dilakukakan sebagai seorang lawyer. Tugas pertama, seorang pengacara harus mengerti betul bahwa unsur-unsur tindak pidana pencucian uang sangatlah rumit. Maka seorang lawyer harus membuktikan paling kurang tiga hal, yakni:

1.    Dana yang terlibat dalam transaksi merupakan dana yang berasalah dari hasil kejahatan perdagangan gelap narkotika.

2.    Bahwa terdakwa mengetahui dana tersebut berasal dari hasil kejahatan perdagangan gelap narkotika.

3.    Bahwa terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Kepemilikan dari uang hasil kejahatan tidak mendukung kesimpulan bahwa terdakwa berniat untuk melakukan transaksi. Walaupun undang-undang menyatakan bahwa percobaan untuk melakukan transaksi atau transfer merupakan bukti cukup sebagai tindak pidana.

Tugas kedua, yakni pemahaman dari pengacara sendiri untuk memperluas bukti. Hal ini merupakan konsekuensi dari tugas pertama. Perluasan ini termasuk menggunakan circumstancial evidence untuk membuktikan tiga unsur pidana tersebut. Tentu tidak mudah dalam melaksanakan tugas pencucian uang ini. Sekalipun pemerintah mempunyai bukti-bukti, belum tentu pelaku dapat dijerat dengan mudah mengingat para pelaku pencucian uang biasanya orang yang berpengalaman dalam melakukan tindak pidana.

            Bahkan untuk mencegah terjadinya pencucian uang ini, dunia pun ikut bertindak. Indonesia tidak bekerja sendirian untuk mencegah tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh warga Indonesia. Sebab pencucian uang tidak hanya bisa terjadi di dalam satu Negara saja, tetapi bisa terjadi antar Negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerja sama internasional untuk mengatasi masalah pencucian uang ini.

            Dalam upaya pencegahan terjadinya pencucian uang, lahir salah satu upaya yang disebut international legal regim. International legal regim ini lahir pada tahun 1988 melalui United against illicit traffic in narcotic and psychotropic substances dengan nama international anti money laundering legal regime. Regim ini berupaya untuk memantau dan mengatur aktivitas dan hubungan international dalam bidang tertentu , menetapkan beberapa norma, peraturan dan prosedur, yang disepakati dalam rangka mencegah dan pencucian uang.

Indonesia bersama 51 negara lain termasuk dalam major money laundering countries. Artinya, Indonesia juga terlibat dalam transaksi sejumlah besar dana yang berasal dari perdagangan gelap obat bius internasional. Indonesia menjadi salah satunya dengan alasan, pertama  Indonesia tidak pernah menyanyakan dari mana asal uang hasil transaksi yang disimpan di bank-bank Indonesia. Kedua Indonesia juga menganut system devisa bebas dengan perekonomian yang terbuka yang artinya siapa saja dapat mempunyai devisa di Indonesia dan menggunakannya untuk kepentingannya. Ketiga , peraturan tentang rahasia bank di Indonesia masih sangat ketat. Keempat, krisis ekonomi di Indonesia sejak 1997 yang dianggap masih belum pulih yang menyebabkan Indonesia memerlukan pinjaman dari luar negri. Bahkan FATF memasukan Indonesia sebagai salah satu Negara yang tidak kooporatif dalam memberantas pencucian uang. Alasan yang dikeluarkan FATF ialah pertama, PPATK baru berfungsi 18 bulan setelah undang-undang no.15 tahun 2002 dikeluarkan. Waktu 18 bulan dianggap terlalu lama. Kedua, batas minimum pelaporan transaksi ialah 500 juta rupiah. Hal ini membuat FATF menganggap Indonesia tidak serius dalam menghadapi pencucian uang.

FATF sendiri telah mengeluarkan rekomendasinya dalam usaha memberantas pencucian uang ini yang terkenal dengan 40+9 FATF recommendation. Rekomendasi tersebut juga digunakan oleh masyarakat internasional dalam penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan persoalan yang sangat rumit, melibatkan organized crime yang memahami berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan isu pencucian uang menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada umumnya dilakukan melewati batas-batas negara (cross-border). The Financial Action Task Force (FATF) yang didirikan tahun 1989 yang mempunyai tugas menciptakan suatu standar kebijakan dalam rangka pencegahan kegiatan money laundering. Dalam 40 rekomendasinya, diatur juga secara implisit tentang keberadaan lembaga financial intelligence unit (FIU). FIU adalah lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang.

Tentu saja tekanan-tekanan dan kerja sama internasional ini berpengaruh besar pada Indonesia, di antaranya :

1.    IMF memberikan syarat Indonesia harus mempunyai ketentuan anti pencucian uang jika ingin mendapatkan kucuran dana dari IMF.

2.    Bank-bank Indonesia diharuskan mengenal customer dan harus mempunyai system pelaporan yang memadai. Bahkan bank Indonesia pun harus mengeluarkakn peraturan baru agar bisa menjalankan tuntutan ini.

Dengan demikian, Indonesia pun mengesahkan undang-undang no. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.

 

C.   Tepatkah kriminalisasi pencucian uang?

 

Saat kriminalisasi pencucian uang disahkan, sudah ada banyak prediksi tentang bagaimana jalannya undang-undang tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Prediksi itupun tak luput dari seorang Dr. Yenti Garnasih, SH, MH   sebagai salah satu ahli pencucian uang di Indonesia. Dalam bukunya, Ibu Dr. Yenti Garnasih , SH, MH menyatakan setidaknya tiga kendala dalam pelaksanaan undang-undang tindak pidana pencucian uang. Tiga kendala itu ialah:

1.    Kelemahan dari Undang-undang No. 15 tahun 2002 itu sendiri

2.    Aparatur perlu mendapat perbaikan

3.    Budaya hukum masyarakat Indonesia belum mendukung anti pencucian uang.

Meskipun sebagai suatu upaya untuk menegakkan keadilan dan undang-undang , tentu tidak mengherankan bila undang-undang tindak pidana pencucian uang memiliki kelemahan. Pembuatan undang-undang ini  terburu-buru karena adanya tekanan dari pihak internasional. Selain itu ahli pencucian uang di Indonesia juga hanya ada beberapa orang saja.

Tekanan pihak internasional tidak bisa dilepaskan dari adanya kelemahan di dalam undang-undang pencucian uang itu sendiri. Paksaan dari berbagai pihak diarahkan kepada Indonesia untuk segera melakukan kriminalisasi pencucian uang. Bahkan Indonesia dimasukkan sebagain Negara yang memiliki bank tempat penyimpanan uang hasil kejahatan. Tidak hanya itu, Financial Action Task Force (FATF) pun memasukkan syarat untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang dalam rangka mengucurkan dana untuk Indonesia. Indonesia seakan-akan mau tak mau harus melakukan kriminalisasi pencucian uang itu. Dengan adanya paksaan ini, jelaslah Indonesia saat itu, belum dalam keadaan siap 100% dalam menyiapkan undang-undang tindak pidana pencucian uang. Alhasil undang-undang tindak pidana pencucian uang ini memiliki kelemahan.

Tidak hanya paksaan dari luar negeri yang melemahkan pelaksanaan undang-undang pencucian uang ini. Kurangnya integritas dan profesionalisme dari penyedia layanan keuangan dan aparatur Negara pun menjadi salah satu alasan. Dengan kurangnya integritas dan profesionalisme dari aparatur Negara , sangat sulit untuk mendeteksi terjadinya pencucian uang. Sebab, untuk mendeteksi adanya transaksi-transaksi mencurigakan, dibutuhkan integritas dan sikap professional dari aparatur Negara. Apalagi berkaitan dengan mendeteksi pencucian uang ini, penyedia layanan jasalah yang wajib melaporkan jika ada transaksi mencurigakan. Sementara batasan transaksi mencurigakan itu masih belum memadai yakni hanya jika transaksi itu bernilai paling kurang Rp. 500.000.000,-. Jelas saja, dengan kurang jelasnya batasan tentang transaksi mencurigakan ini, membuat transaksi-transaksi yang bernilai Rp. 500.000.000,- ke atas akan dilaporkan terlepas dari wajar tidaknya transaksi itu. Dengan banyaknya laporan tentu saja konsumen penyedia layanan keuangan akan kecewa. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan penyuluhan, pelatihan, dan sosialisasi dari pihak pemerintah tentang undang-undang pencucian uang ini.

Kasus korupsi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, menjadi headline dalam berbagai media. Sebut saja, kasus hambalang, century, penyuapan hakim dan simulator sim yang sekarang sedang marak dibicarakan. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa aparatur Negara di Indonesia belum memiliki integritas yang tinggi, apa lagi tentang professional kerja. Tidak hanya kasus korupsi saja, bahkan antara tentara dan kepolisian pun terjadi bentrok. Misalnya saja penyerangan hoku dan di lapas cebongan yang melibatkan beberapa pihak kopasus. Hal ini tentu menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pihak penegak hukum.

Saat ini, masyarakat tentu sedang ragu untuk meletakkan kepercayaannya di pundak penegak hukum. Kondisi penegak hukum di Indonesia yang jauh dari memuaskan membuat masyarakat Indonesia berada dalam situasi pasrah.

Secara umum, ada tiga bentuk tindak pidana pencucian uang :

1.    Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

2.    Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

3.    Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sementara sanksinya sangatlah berat, yakni penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 10 milyar rupiah.

Bentuk tindak pidana pencucian uang pasif (kedua) sangat memberatkan masyarakat Indonesia. Bentuk- bentuk  penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan penukaran diharuskan untuk diselidiki sendiri oleh masyarakat Indonesia. Sementara masyarakat Indonesia banyak yang belum memahami adanya undang-undang pencucian uang  dan bahkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat kemiskinan, masyarakat Indonesia harus menyelidiki sendiri dan kemudian melapor kepada yang berwajib. Bahkan di kota-kota besar pun banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami hukum. Dan adanya pelaku pasif ini, masyarakat yang belum tahu bagaimana menyelidiki asal usul uang itu bisa dihukum bila tidak melapor. Pemerintah pun belum memberikan cara yang jelas dan tepat tentang bagaimana menyelidiki asal usul uang hasil kejahatan. Apalagi masyarakat Indonesia biasanya enggan untuk menanyakan kondisi ekonomi dan asal usul uang orang lain. Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya di bagian timur Indonesia, merupakan hal yang kurang sopan untuk menanyakan tentang asal usul hasil kerja orang lain, apalagi kalau orang tersebut baru dikenal. Kebudayaan masyarakat Indonesia khususnya Indonesia bagian timur juga, sangat sulit untuk mencurigai orang-orang yang memberikan hibah, sumbangan, dan bahkan penitipan. Sanksi untuk masyarakat Indonesia yang berkebudayaan seperti ini pun terasa kurang adil. Denda 10 milyar rupiah bagi masyarakat Indonesia dengan tingkat kemiskinan yang tinggi ini terlalu berat.

Bahkan masyarakat Indonesia di bagian timur belum tentu mengetahui tempat yang tepat untuk melaporkan transaksi mencurigakan meskipun sudah dicantumkan dalam undang-undang. Tempat melaporkan tentang transaksi keuangan yang tepat ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK  sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut:

1.    Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;

2.    Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

3.    Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

4.    analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Sementara wewenang PPATK, yaitu: Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan oleh penyidik atau penuntut umum; Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan, kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; Memberikan pengecualian kewajiban pelaporanmengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai. Pesatnya kemajuan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan empuk bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang.

Meskipun kriminalisasi pencucian uang ini dilakukan untuk penegakan hukum., namun tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih memegang kebudayaan dengan sangat erat. Bahkan budaya ini masih dipegang erat oleh karyawan-karyawan bank dan penyedia jasa layanan keuangan. Karyawan-karyawan bank dan penyedia layanan jasa keuangan ini pun masih enggan menanyakan asal usul keuangan dari seorang nasabah. Tanpa disadari budaya ini justru menjerumuskan masyarakat Indonesia ke dalam penjara selama 20 tahun dan denda 10 milyar rupiah.

Menyadari hal ini, seharusnya karyawan-karyawan bank lebih professional dalam menjalankan  tugas mereka dan diberikan pelatihan, penyuluhan dan sosialisasi tentang pencucian uang itu sendiri. Sedikitnya ahli pencucian uang di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang pencucian uang.

Namun, dengan adanya undang-undang tindak pidana pencucian uang ini juga Indonesia berhasil lolos dari daftar hitam FATF. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso kepada Tempo  18 Maret 2012 lalu. Upaya penanggulangan kejahatan pencucian uang juga harus dilihat dari konteks keselurahan. Kebijakan sosial untuk kesejahtaraan masyarakat antara lain didahului kriminalisasi dan tetap didasarkan pada upaya penanganan atas kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak langsung karena kejahatan ini sangat berbahaya dan perlu mendapatkan perhatian khusus.

Tidak hanya lolos dari daftar hitam FATF saja, Indonesia pun berhasil mendapatkan beberapa tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di Indonesia, di antaranya :

1.    kasus pencucian uang Rp 80 miliar di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

2.    Kasus pencucian uang Citibank oleh Melinda Dee

3.    Luthfi Hasan Ishaaq yang baru saja jadi tersangka kasus pencucian uang

4.    Kasus pencucian uang nazarudin

5.    Kasus Visca Lovitasari

6.    Kasus dugaan pencucian uang Irjen Djoko Susilo

7.    Dan masih banyak kasus lainnya.

`Kasus –kasus di atas menunjukkan bahwa kriminalisasi pencucian uang di Indonesia sudah tepat. Komisi Pemberantasan Korupsi mulai berani menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat koruptor. Hal ini tentu menjadi awal yang bagus bagi masyarakat Indonesia sekarang. Misalnya kasus Muhammad Nazaruddin dalam kasus pembelian saham maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia yang diduga menggunakan uang hasil kejahatan korupsi. Berbagai macam kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana di Indonesia mulai ditelusuri lebih lanjut oleh penyidik agar dapat dikenai hukuman tindak pidana pencucian uang.

Secara tidak langsung dengan adanya undang-undang tindak pidana pencucian uang ini telah mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Karena perputaran dana dalam masyarakat Indonesia mulai seimbang. Dengan disahkannya undang-undang pencucian uang ini, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin menurun. Hal ini dicatat oleh badan stastistik nasional.  Berdasarkan data yang dilansir pada 2006 jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang, 2007 mencapai 37,17 juta orang, 2008 mencapai 34,96 juta orang, 2009 mencapai 32,53 juta orang, 2010 mencapai 31,02 juta orang, 2011 mencapai 30,02 juta orang, 2012 mencapai 28,59 juta orang

Namun dalam praktiknya terdapat banyak hambatan dan kendala yang terjadi. Sehingga undang-undang tindak pidana pencucian ini sangat hati-hati digunakan. Bahkan sebenarnya ada dampak-dampak negative dari pencucian uang itu sendiri, meskipun jika dilihat sepintas, tidak ada korban dari pencucian uang itu. Dampak-dampak negative dari pencucian itu antara lain :

1.    memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya mengingat pencucian uang ini banyak dilakukan oleh para pelaku tindak pidana narkotika

2.    mengurangi pendapatan Pemerintah dari pajak mengingat tindak pidana pencucian uang ini merupakan salah satu tindakan untuk menghindari pajak sehingga merugikan bagi masyarakat yang jujur dalam membayar pajak di Indonesia.

3.    Perputaran uang di dalam masyrakat menjadi tidak seimbang.

4.    Tingkat kemiskinan dalam masyarakat Indonesia bisa meningkat.

Jadi kriminalisasi pencucian uang di Indonesia sudah tepat hanya saja masih mempunyai hambatan-hambatan baik dari segi undang-undang itu sendiri, aparatur, maupun dari kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri.

 

BAB III KESIMPULAN

Jadi , kesimpulan dari tulisan ini :

1.    Dengan adanya kriminalisasi pencucian uang sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan menekan tingkat kriminalitas tentu sangat bermanfaat baik dari segi masalah internasional maupun dari segi masalah nasional. Undang-undang tindak pidana pencucian uang ini merupakan salah satu solusi yang tepat untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan secara internasional dan dapat mencegah penggunaan lembaga keuangan sebagai sarana dalam melakukan kejahatan.

2.    Dalam pelaksanaannya undang-undang pencucian uang di Indonesia ini menghadapi banyak masalah dan kendala. Masalah itu muncul dari kelemahan undang-undang itu sendiri, dari pihak aparatur, dan dari kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri. Kelemahan undang-undang pencucian ini semakin diperbaiki dengan dilakukannya revisi undang-undang. Namun, tidak cukup dengan revisi bila aparaturnya tidak bekerja dengan integritas tinggi dan profesionalisme. Kebudayaan Indonesia yang enggan untuk menanyakan asal usul dari kekayaan seseorang turut menghambat pelaksanaan undang-undang tindak pidana pencucian uang itu sendiri.

3.    Pelatihan, penyuluhan, dan sosialisasi tentang pencucian uang masih perlu dilakukan di Indonesia. Karena masih banyak yang belum memahami arti penting akan undang-undang anti pencucian uang ini.

Selain itu, penulis juga memberikan saran dalam konteks anti pencucian uang ini, yakni :

1.     Pemerintah perlu memperbaiki kinerja penegak hukum di Indonesia

2.    Perlu dilakukannya upaya penyuluhan, pelatihan, dan sosialisasi tentang anti pencucian uang baik untuk karyawan maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar masyarakt Indonesia lebih professional dan berintegritas tinggi dalam mengatasi pencucian uang di Indonesia.

3.    Perlunya partisipasi masyarakat untuk memberantas aksi pencucian uang agar jalannya undang-undang anti pencucian uang tetap lancar.

4.    Perlunya kesadaran bahwa masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan rahasia keuangan pribadi di bank jika memang benar uang itu bukan hasil kejahatan.

PEMBAHASAN KASUS BANK CENTURY

 

 

BAB I. PENGANTAR

 

A.    LATAR BELAKANG

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dipandang sebagai sumber hancurnya pembangunan perekonomian di Indonesia. Tindak pidana korupsi ini bahkan dipandang sebagai budaya di negeri tercinta Indonesia. Berbagai usaha pemerintah untuk memberantas korupsi telah dilakukan dan sedang terus diupayakan. Namun, sampai detik ini pun masih banyak kasus korupsi yang terjadi di Negara ini. Banyaknya kasus korupsi ini pun tidak hanya berdampak pada hancurnya perekonomian nasional Indonesia, bahkan dunia internasional pun pernah memasukkan Indonesia sebagai sepuluh besar Negara terkorup di Asia.

Salah satu kasus yang sedang marak didengar dari media dan cukup popular dikalangan masyarakat sekarang ialah kasus tindak pidana korupsi dana talangan bank century. Dalam kasus ini, banyak oknum pemerintah yang memegang jabatan penting dianggap sebagai dalang dari kasus ini. Kasus ini cukup menarik untuk dibahas dan sangat penting untuk dikaji. Karena sampai sekarang, belum ada kejelasan tentang akhir dari kasus ini.

B.    RUMUSAN MASALAH

Kasus dana talangan bank century ini masih terus berlangsung. Tersangka Robert tantular pun telah dipidana dan diputus oleh pengadilaln negeri Jakarta ….  Rumusan masalah dari pembahasan ini ialah

1.    Bagaimana penerapan teori pemberantasan korupsi dalam kasus bank century ini ?

2.    Dasar hukum apa yang digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang menjadi tersangka?

3.    Bagaimana peran lembaga pemberantasan korupsi dalam kasus ini?

 

C.   TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan tentang kasus korupsi, khususnya kasus korupsi bank century ini, ialah :

1.    Memperdalam pengetahuan tentang pemberantasan korupsi dalam teori dan praktik.

2.    Mencari fakta dan bukti yang diperlukan dalam pembuktian kasus bank century.

3.    Memahami kajian teori pemberantasan korupsi dalam praktik kehidupan sehari-hari.

4.    Memenuhi tugas mata kuliah tindak pidana khusus.

5.    Melihat keterkaitan politik dan kasus bank century.

6.    Melihat kinerja pemerintah dalam penyelesaian kasus bank century.

 

D.   MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan ini ialah:

1.    Pembaca dapat lebih memahami penerapan teori pemberantasan korupsi dalam praktik.

2.    Pembaca dapat berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

3.    Pembaca dapat mengetahui dampak-dampak korupsi.

 

 

BAB II.  PEMBAHASAN

 

A.    KRONOLOGI SINGKAT KASUS BANK CENTURY

Setelah lama didengar dari media masa, hingga kini kasus bank century belum juga selesai. Kasus ini masih diselidiki oleh KPK. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus ini, membuat masyarakat Indonesia tidak sabar dan penasaran tentang kasus ini. Pada awal pembahasan, sangat bagus jika kita membahas terlebih dahulu tentang kronologis kasus bank century ini. Sebab, jika tidak membahas kronologis, kasus bank century ini tidak akan mudah untuk dipahami alurnya. Berikut kronologis singkat kasus bank century:

1.    1989 : Robert Tantular mendirikan Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC)[1].

2.    1999 : Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas alias rights issue[2] pertama. Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia untuk mengajukan right issue ini.

3.    2003 : bank CIC diketahui sedang mengalami masalah[3]. Ditemukan banyak surat berharga valuta asing mencapai nilai 2 triliun rupiah. Valuta asing itu tidak mempunyai peringkat, berjangka panjang, bunganya rendah serta tidak mudah dijual. BI pun memberikan saran merger untuk mengatasinya.

4.    2004 : bank CIC melakukan merger dengan bank denpac dan bank pikko, sehingga terbentuklah bank century[4]. Setelah terbentuk, BI menyarankan bank century untuk menjual valuta asing tersebut, namun pemegang saham lebih memilih menjadikan valuta asing itu sebagai deposito di bank Dresdner, Swiss. Ternyata deposito yang disimpan di bank Dresdner ini sangat sulit ditagih.

5.    2005 : Budi Sampoerna menjadi salah satu nasabah terbesar Bank Century cabang Kertajaya, Surabaya[5]. Selain itu, BI juga mendeteksi adanya valuta asing di bank century berjumlah 210 juta dolar Amerika[6].

6.    2008 : awal kehancuran bank century. Sebab pada saat itu, beberapa nasabah besar ingin menarik dana yang disimpan di bank century. Di antara nasabah itu ialah budi sampoerna, PT Timah Tbk, dan PT Jamsostek. Bank century pun mengalami kesulitan likuiditas[7].

7.    1 oktober 2008 : Budi Sampoerna tak dapat menarik uangnya yang berjumlah sekitar 2 triliun rupiah dari bank century. Sepekan kemudian, bos Bank Century Robert Tantular membujuk Budi dan anaknya yang bernama Sunaryo, agar menjadi pemegang saham dengan alasan Bank Century mengalami likuiditas[8].

8.    30 oktober 2008 ditemukan sekitar 56 juta dolar Amerika surat berharga valuta asing jatuh tempo dan gagal bayar.

9.    13 november 2008 : BI menggelar rapat konsulitasi melalui telekonferensi dengan Menteri Keungan Sri Mulyani, yang tengah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang G-20 di Washington, Amerika Serikat. Budiyono selaku gubernur bank Indonesia pun membenarkan bahwa bank century tidak mampu menerima permintaan dana dari  nasabah sehingga terjadi rush( rush: terburu-buru, kesibukan).

10.  14 november 2008 : Bank Century mengajukan permohonan fasilitas pendanaan darurat dengan alasan sulit mendapat pendanaan. Budi Sampoerna setuju memindahkan seluruh dana dari rekening di Bank Century cabang Kertajaya, Surabaya ke Cabang Senayan, Jakarta.

11.  17 november 2008 : Antaboga Delta Sekuritas yang dimiliki Robert Tantutar mulai default membayar kewajiban atas produk discreationary fund yang di jual Bank Century sejak akhir 2007.

12.  20 november 2008 : bank century ditetapkan sebagai bank gagal dan dikirimkan surat kepada Menkeu tentang Penetapan Status Bank Gagal pada Bank Century dan menyatakan perlunya penanganan lebih lanjut. Sri Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan langsung menggelar rapat untuk membahas nasib bank century ini. Dan diketahui rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus hingga 3,52 persen melalui data per 31 oktober 2008. Diputuskan, guna menambah kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp 632 miliar. Rapat tersebut juga membahas apakah akan timbul dampak sistemik jika Bank Century dilikuidasi. Dan menyerahkan Bank Century kepada lembaga penjamin.

13.  21 november 2008 : Mantan Group Head Jakarta Network PT Bank Mandiri, Maryono diangkat menjadi Direktur Utama Bank Century menggantikan Hermanus Hasan Muslim. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan KKSK (komite kebijakan sector keuangan) dalam surat NO.04.KKSK.03/2008 bank century resmi diambil alih oleh LPS.

14.  22 november 2008 : Delapan pejabat Bank Century dicekal. Mereka adalah Sualiaman AB (Komisaris Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris), Rusli Prakarta (komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K Gondokusumo (Direktur Pemasaran), Edward M Situmorang (Direktur Kepatuhan) dan Robert Tantular (Pemegang Saham).

15.  23 november 2008 : Lembaga penjamin langsung mengucurkan dana Rp 2,776 triliun kepada Bank Century. Bank Indonesia menilai CAR sebesar 8 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2,655 triliun. Dalam peraturan lembaga penjamin, dikatakan bahwa lembaga dapat menambah modal sehingga CAR bisa mencapai 10 persen, yaitu Rp 2,776 triliun.

16.  26 november 2008 : Robert Tantular ditangkap di kantornya di Gedung Sentral Senayan II lantai 21 dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Markas Besar Polri. Robert diduga mempengaruhi kebijakan direksi sehingga mengakibatkan Bank Century gagal kliring. Pada saat yang sama, Maryono mengadakan pertemuan dengan ratusan nasabah Bank Century untuk meyakinkan bahwa simpanan mereka masih aman.

17.  Dari bulan November hingga desember 2008 : Dana pihak ketiga yang ditarik nasabah dari Bank Century sebesar Rp 5,67 triliun.

18.  5 desember 2008 : Lembaga penjamin mengucurkan untuk kedua kalinya sebesar Rp 2,201 triliun. Dana tersebut dikucurkan dengan alasan untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank.

19.  9 desember 2008 : Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.

20.  31 desember 2008 : Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008. Aset-nya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007.

21.  3 Februari 2009 : Lembaga penjamin mengucurkan lagi Rp 1,55 triliun untuk menutupi kebutuhan CAR berdasarkan hasil assesment Bank Indonesia, atas perhitungan direksi Bank Century.

22.  1 April 2009 : Penyidik KPK hendak menyergap seorang petinggi kepolisian yang diduga menerima suap. Namun penyergarapan itu urung lantaran suap batal dilakukan. Dikabarkan rencana penangkapan itu sudah sampai ke telinga Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri[9].

23.  Pertengahan april 2009 : Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji mengeluarkan surat klarifikasi kepada direksi Bank Century. Isi surat tersebut adalah menegaskan uang US$ 18 juta milik Budi Sampoerna dari PT Lancar Sampoerna Besatari tidak bermasalah.

24.  11 mei 2009 : Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI.

25.  29 mei 2009 : Kabareskrim Susno Duadji memasilitasi pertemuan antara pimpinan Bank Century dan pihak Budi Sampoerna di kantornya. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa Bank Century akan mencairkan dana Budi Sampoerna senilai US$ 58 juta -dari total Rp 2 triliun- dalam bentuk rupiah.

26.  Juni 2009 : Bank Century mengaku mulai mencairkan dana Budi Sampoerna yang diselewengkan Robert Tantular sekitar US$ 18 juta, atau sepadan dengan Rp 180 miliar. Namun, hal ini dibantah pengacara Budi Sampoerna, Lucas, yang menyatakan bahwa Bank Century belum membayar sepeserpun pada kliennya.

27.  Komisaris Jendral Susno Duadji mengatakan ada lembaga yang telah sewenang-wenang menyadap telepon selulernya.

28.  Juli 2009 : KPK melayangkan surat permohonan kapada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit terhadap Bank Century.

29.  2 juli 2009 : KPK menggelar koferensi pers. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto megatakan jika ada yang tidak jelas soal penyadapan, diminta datang ke KPK.

30.  3 juli 2009 : Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar.

31.  21 juli 2009 : Lembaga penjamin mengucurkan lagi Rp 630 miliar untuk menutupi kebutuhan CAR Bank Century. Keputusan tersebut juga berdasarkan hasil assesment Bank Indonesia atas hasil auditro kantor akuntan publik. Sehingga total dana yang dikucurkan mencapai Rp 6,762 triliun.

32.  12 Agustus 2009 : Mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp 1,6 triliun. Dan tanggal 18 Agustus 2009, Komisaris Utama yang juga pemegang saham Robert Tantular dituntut hukuman delapan tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar subsider lima tahun penjara.

33.  27 Agustus 2009 : Dewan Perwakilan Rakyat memanggil Menkeu Sri Mulyani, Bank Indonesia dan lembaga penjamin untuk menjelaskan membengkaknya suntikan modal hingga Rp 6,7 triliun. Padahal menurut DPR, awalnya pemerintah hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century. Dalam rapat tersebut Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa jika Bank Century ditutup akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Pada hari yang sama pula, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menyatakan bhwa kasus Bank Century itu sudah ditingkatkan statusnya menjadi penyelidikan.

34.  28 Agustus 2009 : Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah pernyataan Sri Mulyani yang menyatakan bahwa dirinya telah diberitahu tentang langkah penyelamatan Bank Century pada tanggal 22 Agustus 2008 –sehari setelah keputusan KKSK. Justru Kalla mengaku dirinya baru tahu tentang itu pada tanggal 25 Agustus 2008.

35.  10 September 2009 : Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Sugeng Riyono memutus Robert Tantular dengan vonis hukuman 4 tahun dengan denda Rp 50 miliar karena dianggap telah memengaruhi pejabat bank untuk tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

36.  30 September 2009 : Laporan awal audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Century sebanyak 8 halaman beredar luas di masyarakat. laporan tersebut mengungkapkan banyak kelemahan dan kejanggalan serius di balik penyelamatan Bank Century dan ada dugaan pelanggaran kebijakan dalam memberikan bantuan ke Bank Century.

37.  2 Oktober 2009 : Nama Bank Century diganti menjadi Bank Mutiara.

38.  21 Oktober 2009 : Akibat kejanggalan temuan BPK tersebut, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung membentuk tim kecil untuk menggulirkan hak angket guna mengkaji kasus Bank Century. Lima hari kemudian, wacana pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR untuk mengusut kasus Bank Century menjadi perdebatan di DPR.

39.  12 November 2009 : 139 anggota DPR dari 8 Fraksi mengusulkan hak angket atas pengusutan kasus Bank Century.

Demikianlah kronologi singkat dari kasus bank century ini. Lalu timbul pertanyaan apa hubungan kasus bank century ini dengan korupsi?

 

B.    BANK CENTURY DAN KORUPSI

 

Dari pembahasan kronologi singkat itu, hubungan bail out bank century dan korupsi cukup sederhana. Seperti yang kita ketahui, korupsi adalah tindak pidana yang merugikan keuangan Negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Tindak pidana secara sederhana dapat diartikan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Jadi dalam konteks bank century dan korupsi, hubungannya  dikaitkan oleh kerugian Negara dan pelanggaran hukum yang terjadi, serta aliran dana dari bail out ini apakah benar-benar digunakan untuk kepentingan penyelamatan keuangan Negara atau untuk kepentingan beberapa pihak tertentu saja. Dalam perundang-undangan dijelaskan dalam pasal 2 UU No. 31 tahun 1999  menyatakakan “ setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara…..”. Sedangkan Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 menyatakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara..”. namun dalam kasus bank century ini, sudah jelas bahwa Negara dirugikan dengan bukti bahwa BPK telah menemukan pelanggaran hukum terkait pengambilan keputusan bail out. Pihak yang diuntungkan ialah bank century atau merupakan koorporasi yang dalam undang-undang juga disebutkan dapat menjadi subyek hukum korupsi. namun yang menjadi permasalahan ialah unsur melawan hukum. untuk menentukan unsur melawan hukum harus ditentukan actus reus dan mens rea dari setiap pelaku. Actus reus tidak menjadi persoalan karena tindakan keputusan bail out itu dengan sendirinya menjadi actus reus dari pelaku dan temuan pelanggaran hukum dalam pengambilan keputusan sebagai bukti. Sedangkan unsur mens rea atau unsur mental atau maksud jahat dari pelaku dalam kasus inilah yang sangat sulit dibuktikan. Sampai saat ini pun masih terjadi banyak perdebatan mengenai unsur mens rea yang terjadi dalam kasus bail out bank century ini.

Kasus bank century ini ramai dibahas di media, alasannya cukup sedeharna, yakni mantan gubernur Bank Indonesia, Budiono, yang pada saat itu juga menjadi wakil presiden sampai sekarang  dikait-kaitkan dengan kasus ini. Dari beberapa diskusi dalam media, diketahui bahwa masalah utama dalam kasus bank century  ini ialah keputusan bail out bank century yang kontroversial. Kontroversi ini menimbulkan perdebatan.

  Pihak yang pro dengan bail out bank century menilai bahwa ada kemungkinan jika bank century ditutup maka ada potensi akan berdampak sistemik terhadap bank-bank lain yang berujung pada kemungkinan terjadi kembali situasi rush atau situasi krisis ekonomi seperti pada tahun 1998. Sedangkan pihak yang kontra terhadap keputusan bail out ini menyatakan bahwa tidak logis atau tidak mungkin terjadi dampak sistemik pada bank-bank lain jika bank century ditutup karena situasi ekonomi 1998 jelas berbeda dengan situasi ekonomi 2008. Dari uraian ini, tidak tampak adanya korupsi dalam kasus bank century. Karena perdebatannya ialah tentang kemungkinan yang bisa saja terjadi. Namun, dalam perdebatan ini, sudah muncul kecurigaan terhadap keputusan bail out tersebut. kecurigaan ini terkait adanya kemungkinan penyalahgunaan wewenang karena jabatan yang dapat merugikan Negara. Kecurigaan ini sangat kuat, sehingga selalu dibahas media, apa lagi dana yang dikeluarkan untuk bail out ini membengkak dari 600 hingga 800 milyar menjadi 6,7 triliun. Selisih angka yang sangat tidak masuk akal jika kita mempertimbangkan keputusan bail out yang sudah dipertimbangkan oleh orang-orang berpendidikan. Selain itu, jika bank century ditutup, maka dana yang diperlukan ialah 5,3 triliun. Selisih yang juga tidak sedikit yakni 1 triliun lebih dari dana bail out yang keluar.

Saat itu, belum terlihat jelas adanya pelanggaran hukum dalam kebijakan bail out itu. Namun, dengan selisih dana yang cukup besar, muncul kecurigaan atas indikasi adanya pelanggaran hukum dalam kasus bank century itu. Indikasi ini langsung ditanggapi oleh berbagai pihak, antara lain KPK, DPR, dan BPK. Dalam kasus ini, KPK berperan untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Sedangkan DPR sebagai badan pengawas terhadap lembaga penegak hukum dalam hal ini komisi 3 , yang juga dibentuk tim panwas untuk mengawasi proses penyelesaian bank century. BPK dalam kasus ini menjalankan kewajibannya sebagai badan yang harus mengaudit keuangan dalam kasus bank century dan menemukan beberapa pelanggaran hukum dalam kasus ini.

Sejauh ini KPK telah menjadikan dua orang tersangka terhadap kasus ini, yakni mantan Deputi Gubernur BI Siti Chailimah Fadjriah yang sprindiknya belum terbit dengan alasan bahwa siti chailimah fadjriah sedang sakit, dan mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya terkait pemberian FPJP(fasilitas pendanaan jangka pendek). Keduanya dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan pada pasal 3 Undang-Undang (UU) No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti yang diubah pada UU No.20/2001 dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Selain dua tersangka itu sudah ada nama robert tantular yang telah berada dalam jeruji besi. Robert Tantular dijatuhi hukuman pidana 9 tahun dan denda Rp 100 miliar subsider kurungan pengganti 8 bulan penjara. Dalam salinan dokumen putusan sidang kasasi yang ada, Robert terbukti secara meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan dijerat pasal 65 ayat 2 KUHP. Awalnya, Robert hanya diberikan sanksi 4 tahun saja di pengadilan negri, sedangkan di pengadilan tinggi Robert divonis 5 tahun, dan saat kasasi diberikan putusan 9 tahun. Pertimbangan majelis hakim untuk menambah masa hukuman penjara dari 4 tahun menjadi 9 tahun, karena Robert Tantular telah melakukan gabungan praktek perbankan yang tidak sehat. Akibat tindakannya itu ialah telah menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat.

Pada jumat, 31 mei lalu, tim panwas menyerahkan dokumen baru[10] kepada KPK yang dinilai sebagai bukti keterlibatan lima dewan gubernur dan gubernur bank Indonesia saat itu. Dokumen itu merupakan dokumen tentang rapat dewan gubernur pada tanggal 20 november 2008 lalu terkait pengambilan keputusan berdampak sistemik atau tidaknya jika bank century ditutup. Menurut Akbar Faisal, mantan anggota Dewan dan Timwas Ada transkrip, ada matrik, analisis. Kurang lebih 25 lembar yang menyatakan 3 substansi penting, yakni: pertama, ada manipulasi situasi dan kondisi saat rapat dewan gubernur pada tanggal 20 november 2008. Kedua, ada penyembunyian informasi oleh bank Indonesia karena dokumen-dokumen ini belum pernah dibuka. Ketiga ialah beberapa rekaman transkrip pembicaraan rapat dewan gubernur. Menurut Akbar, dalam rekaman transkrip itu dijelaskan belum ada kriteria penting yakni psikologi pasar untuk menentukan dampak sistemiknya jika bank century ditutup. Menurutnya psikologi pasar inilah kriteria yang seharusnya menjadi kriteria  terpenting dalam  mengambil keputusan pada 20 november 2008 itu. Sehingga ia menyatakan bahwa semua yang hadir dalam rapat dewan gubernur saat itu terlibat dalam kasus bank century. Sedangkan yang hadir saat itu ialah Miranda Swaray Goeltom, Muliaman Hadad, Siti Fadjrijah, almarhum Budi Rochadi, Budi Mulya, dan pimpinan rapat saat itu, Gubernur BI Boediono. Keterlibatan mantan Gubernur BI boediono juga menurut DPR sangat kuat karena adanya surat kuasa yang diberikan oleh boediono kepada direktur BI untuk membail out bank century[11].

Dalam perkembangan terbaru, terjadi perdebatan lagi tentang pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Sri Mulyani dan Galoeh Andita Widorini oleh berbagai pihak. Seperti yang  telah diketahui bahwa sekarang Sri Mulyani berada di Washington D.C dan Galoeh sebagai mantan pengawas bank century dan staf Deputi Gubernur Bank Indonesia di Australia. Menurut beberapa pihak terjadi ketidak adilan dalam pemeriksaan terhadap sri mulyani sebab sri mulyani diperiksa di Washington D.C. Sedangkan saksi lain dipanggil dan diperiksa di kantor KPK di Indonesia. Untuk menjawab perdebatan ini, mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua menyatakan bahwa, status Sri Mulyani belum menjadi saksi, sehingga tidak ada hak paksa dari KPK untuk memanggil Sri Mulyani untuk diperiksa di kantor KPK, melainkan karena status Sri Mulyani masih terperiksa sehingga KPK yang harus menghampiri Sri Mulyani di Washington. Status terperiksa ini jelas menjadi jawaban atas perdebatan ini.

Dari pemeriksaan tersebut, KPK mengungkapkan bahwa ada fakta-fakta baru yang diberikan oleh Sri Mulyani terkait kasus bank century ini yang bisa menjerat berbagai pihak. Bahkan fakta baru itu disebut-sebut dapat membongkar actor intelektual dibalik keputusan bail out bank century. Fakta ini dinilai KPK sebagai perkembangan, bahkan wakil ketua KPK Bambang Widjajanto menyatakan,” ada perkembangan yang memuaskan”[12]. Namun hingga kini perkembangan tersebut tidak bisa diberitakan ke masyarakat umum, tetapi harus diproses saja.

Lalu, bagaimana sebenarnya proses terjadinya korupsi dalam kasus bank century ini? Menurut ketua KPK Abraham Samad, modus yang digunakan dalam perkara dugaan korupsi ini sangat canggih[13]. Kecanggihan ini terlihat dari cara pengalihan dalam konteks pemberian dana talangan terhadap bank-bank yang terlibat dalam perkara ini. Prosesnya ialah bank-bank yang sudah dinyatakan tidak mampu diperintahkan untuk mengembalikan suntikan dana dari pemerintah dengan memberikan aset-asetnya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Oleh BPPN aset-aset itu kemudian dijual kembali, tetapi dalam kasus ini BPPN menjualnya dengan harga murah atau harga di bawah pasar. Pembeli aset-aset itu ialah perusahaan luar negri yang ternyata jika diselidiki, perusahaan itu sama dengan perusahaan yang menyerahkan aset-aset itu. Jadi aset-aset itu seakan telah diserahkan tetapi kembali lagi kepada orang yang berkewajiban menyerahkan aset itu. Inilah manipulasi yang merugikan Negara hingga triliunan rupiah.

Cara-cara canggih inilah yang membuat korupsi disebut sebagai kejahatan yang dilakukan kerah putih. Kerah putih dalam arti bahwa kejahatan korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan atau jabatan penting dalam Negara dan notabene merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi, sehingga dapat mencari kelemahan undang-undang untuk melakukan kejahatan dan atau mencari perlindungan undang-undang lain untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan yang diatur oleh undang-undang lain.

 

C.   Pendapat penulis

Hampir tepat lima tahun sudah kasus bank century ini berjalan, namun belum ada kepastian akan selesainya kasus ini. Banyak beredar kabar bahwa kasus century ini sebenarnya hasil dari politik mengingat banyaknya terjadi perdebatan antara pejabat politik dalam kasus ini[14]. Sangat sulit untuk menemukan bukti akan adanya hubungan politik dengan kasus bank century ini. Namun, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa keputusan bail out bank century dilakukan oleh pemerintah. Karena dilakukan oleh pemerintah, maka keputusan itu menjadi kebijakan public di Indonesia. Dan kebijakan public merupakan salah satu objek mendasar dalam ilmu politik. Dengan kata lain, kasus bank century rawan dengan isu politik. Sehingga, merupakan suatu hal yang wajar jika orang mengaitkan kasus bank century ini dengan politik. Namun, penjelasan ini tidak serta merta menyatakan bahwa kasus bank century secara nyata dipengaruhi oleh politik. Oleh Karen itu dibutuhkan fakta-fakta sebagai bukti petunjuk bahwa kasus bank century ini benar-benar berhubungan dengan politik. Tetapi menurut saya sebagai penulis, kasus bank century bukan merupakan hasil politisasi karena terlepas dari adanya politisasi atau tidak, keputusan bail out tetap akan menjadi kebijakan public. Tetapi dalam kaitannya dengan proses penyelesaian kasus bank century ini, terjadi banyak hal yang mengarahkan pandangan public bahwa kasus ini berhubungan erat dengan politik. Hal ini terlihat cukup jelas dari pandangan masyarakat yang melihat bahwa ada beberapa pejabat yang menggunakan dana talangan bank century untuk kepentingan politik mereka. Dengan terbentuknya opini public ini, sebenarnya sudah cukup jelas bahwa kasus bank century ini sudah menjadi isu politik. Selain itu bukti nyata adanya keterkaitan politk dalam kasus century ini ialah, saat adanya pemilihan antara opsi A dan opsi C untuk penyelesaian kasus century ini. Dimana opsi A lebih memilih diselesaikan secara polirik dan opsi C diselesaikan dengan cara hukum yang berlaku.

Selain melihat dari sisi keterkaitan politik dalam kasus bank century ini, penulis ingin berpendapat juga tentang perdebatan yang terjadi mengenai dampak sistemik dalam kasus bank century. Menurut data yang ada[15] , pada tahun 2008 memang sedang terjadi krisis ekonomi global. Sehingga Indonesia pun terkena dampaknya, yakni saat itu Indonesia juga mengalami krisis ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan turunnya nilai kurs dan nilai aset-aset saham dan bahkan surat utang Indonesia pada saat itu. Terlepas dari bermasalah atau tidaknya bank century, beberapa pihak di antaranya mantan wakil presiden Jusuf Kalla  menilai bahwa bank century adalah bank yang kecil, sehingga jika ditutup maka tidak mungkin mengakibatkan dampak sistemik terhadap bank-bank lain. Apa lagi saat rapat panwas pada 19 september 2012, Jusuf Kalla menegaskan bahwa dari rekaman rapat keputusan bail out pada November 2008, sama sekali tidak disebutkan kata sistemik dalam rapat tersebut. Dan dalam keputusan rapat keputusan bail out itu tidak disebutkan dalam putusan rapat tentang kata sistemik[16]. Menurut penulis perdebatan mengenai kemungkinan ini tidak akan menemukan kebenaran akan motif dari pengambil keputusan bail outnya century. Sebab, perdebatan ini berbicara tentang kemungkinan saja. Sehingga, apapun bisa terjadi. Namun, sebenarnya situasi ekonomi saat itu, memang secara nyata sudah menjelaskan jika bank century itu ditutup, terlepas dari penilaian bahwa bank century itu merupakan bank yang kecil,  maka  akan tetap berdampak sistemik terhadap bank-bank lain. Tetapi, seharusnya dalam rapat pengambilan keputusan bail out century tetap harus disebutkan dan seharusnya tetap dijelaskan tentang dampak sistemik itu sendiri. Karena rekaman rapat saat itu bisa dijadikan antisipasi bukti terhadap masalah yang timbul.

Menurut penulis, masalah pokok bank century yang ingin dibahas pemerintah bukanlah tentang kemungkinan dampak sistemik bank century, melainkan masalah pembengkakan dana talangan terhadap bank century ini. Sebab bank CIC yang merupakan awal mula terbentuknya bank century memang sudah bermasalah dan masih dibantu oleh BI dengan saran merger yang membentuk bank century. Masalah bank CIC dan merger yang dilakukan, tidak pernah dibicarakan ke public dan bahkan tidak pernah dibahas dalam pemerintahan. BI pun tidak pernah diberikan sanksi karena sarannya itu. Namun jika dilihat dari sis positif, pemerintah sudah menunjukan peningkatan kinerja dengan membahas dampak sistemik yang dapat menjadi salah satu bukti kesalahan dalam pengambilan keputusan bail out. 

Menurut penulis, pemerintah lebih tertarik terahadap selisih dana yang diperkirakan dengan dana yang dikeluarkan. Apa lagi aliran dana itu masih misteri hingga sekarang. Dana talangan yang awalnya diperkirakan hanya mencapai angka 600-an milyard membengkak menjadi 6,7 triliun. Berkaitan dengan pembengkakan dana ini, menurut penulis ada dua kemungkinan penyebabnya, yakni :

1.    Kinerja aparatur Negara maupun aparatur swasta yang terkait pemberian dana talangan ini memang sangat buruk dan lalai dalam menjalankan tugas sehingga perkiraan yang awalnya bernilai milyaran rupiah membengkak menjadi triliunan rupiah.

2.    Pembengkakan dana talangan ini memang sengaja dibuat dan disembunyikan untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu.

Dari dua kemungkinan ini, semua pihak terkait memang tetap akan terkena sanksi jika terbukti lalai ataupun sengaja. Hanya saja jika terbukti lalai menjalankan tugasnya maka sanksinya lebih ringan. Dengan kata lain, kemungkinan kedua menjadi kemungkina terburuk bagi pihak yang terkait dengan kasus ini. Sejauh ini kinerja DPR, KPK, dan BPK sudah sangat bagus. Hal ini terlihat dari pembentukan tim pansus oleh DPR dan timwas, penemuan pelanggaran hukum oleh BPK, dan kemajuan penemuan telah adanya tersangka dari penyidikan KPK. Hanya saja dalam prosesnya banyak terjadi masalah-masalah lain yang menghambat proses penyelesaian kasus century ini, antaranya : kasus yang menjerat beberapa pengurus KPK terdahulu  baik bibit-chandra maupun antashari azhar.

Dalam penyelesaian kasus ini, baik DPR maupun KPK , lebih mencari kemungkinan kedua yakni kesengajaan terkait kesalahan dalam pemberian dana talangan bank century. Namun, kendala yang paling nyata dalam proses ini ialah pencarian bukti-bukti dan fakta-fakta yang dapat membuktikan unsur mens rea dari pelaku-pelaku kasus century ini. Sehingga membutuhkan waktu yang lama (1sampai 2 bulan) untuk memeriksa satu saksi.

Dengan demikian, pendapat penulis lebih melihat dari sisi hubungan politik, persoalan pokok, dan kinerja pihak-pihak terkait dalam kasus ini, serta penyelesaian kasus ini yang sangat sulit sehingga memakan waktu yang lama.

 

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari kasus ini ialah persoalan dana talangan ini memang sangatlah rumit untuk diselesaikan. Sehingga untuk menyelesaikan kasus ini, diperlukan waktu yang cukup lama. Namun banyaknya kepentingan politik yang menghampiri kasus ini membuat kasus ini juga kadang meredup di media dan tiba-tiba kembali popular dibahas. Mungkin kembali populernya kasus ini pada tahun ini karena tahun ini merupakan tahun politik menjelang pemilu 2014. Sehingga ada kemungkinan munculnya kasus ini untuk menjatuhkan pihak-pihak lain dan mengangkat nama pihak lain. Saran dari penulis ialah hanya mengenai konsistensi pihak-pihak yang berkaitan dalam mengurus penyelesaian kasus century ini. Dan apresiasi dari penulis bagi mereka yang secara konsisten mengurus penyelesaian kasus ini.

Dan semoga dengan ditemukannyafakta baru dari Sri Mulyani benar-benar menjadi pintu masuk penyelesaian kasus ini oleh penegak hukum. SEMOGA!

 

 

 


[2]  Right issue merupakan salah satu cara yang digunakan oleh emiten untuk meningkatkan jumlah modal yang disetorkan dengan memberikan penawaran terlebih dahulu kepada pemegang saham lama untuk menambah modalnya di perusahaan tersebut. Jika seorang investor tidak menggunakan hak tersebut maka ia dapat menjual hak tersebut sehingga muncul periode right issue. Sedangkan Emiten adalah sebutan untuk perusahaan yang melakukan emisi alias menerbitkan dan menjual saham atau obligasi (dan produk investasi turunannya) kepada masyarakat umum. Berkaitan dengan uji kelayakan oleh bank Indonesia terhadap Robert Tantular iin, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, antara lain :

1)      Harus disetujui oleh RUPS

2)      Harga pelaksanaan right issue tidak boleh lebih dari  nilai nominal

3)      Dalam peraturan bapepam tentang hak memesan efek terlebih dahulu yang menyatakan baheea emiten harus melaporkan kepada bapepam tentang rencana right issue selambat lambatnya 28 hari sebelum RUPS.

[7] Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pengertian lain adalah kemampuan seseorang atau perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau utang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Likuiditas)

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK MEDIK

BAB I   PENDAHULUAN

Dalam perkembangan dunia modern saat ini, perkembangan bidang kesehatan dan hukum menjadi begitu pesat. Penggunaan akal sehat manusia tidak lagi seperti penggunaan akal sehat di zaman prasejarah dulu. Saat berbicara mengenai kesehatan, maka pembicaraan itu identik dengan dunia kedokteran, bukan lagi identik dengan dunia paranormal, meskipun masih ada segelintir orang yang percaya dengan hal-hal yang menyangkut paranormal. Demikian pula saat berbicara mengenai hukum, orang akan membicarakannya dengan lebih detail dengan sanksi-sanksi yang jelas telah diatur secara tertulis daripada saat zaman-zaman dahulu yang peraturan dan sanksinya belum tertulis, meskipun pada saat ini hukum tidak tertulis masih tetap digunakan. Namun, hal ini dengan sangat jelas menerangkan bahwa sebagian besar manusia telah menggunakan akal sehat dengan begitu baik. Orang lebih mempercayai kemampuan dokter-dokter yang mempunyai  bukti logis dalam menyembuhkan pasien daripada paranormal yang hanya mengandalkan kepercayaan dari pasiennya saja.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus hukum yang berkaitan dengan dunia kesehatan atau dapat dikatakan kasus kesehatan yang dihubungkan dengan hukum. Kasus-kasus seperti ini sudah bermunculan sejak dimulainya zaman modern. Salah satu contoh yang paling tepat untuk menjelaskan kasus-kasus seperti ini ialah kasus malpraktik yang sering diberitakan oleh media. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang kasus malpraktik.

1.1              LATAR BELAKANG

Kasus malpraktik merupakan kasus yang sangat erat hubungannya dengan dunia kedokteran.  Kasus malpraktik ini bermunculan sejak adanya kekecewaan dari pasien akan penyembuhan yang dilakukan oleh dokter-dokter. Kekecewaan ini kemudian diajukan sebagai kasus hukum karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, seperti hak hidup dan hak untuk mendapatkan kesehatan. Namun, kita juga tak dapat menghindar dari alasan lain munculnya kasus malpraktik ini, yakni bahwa masyarakat kurang mengerti mengenai perbedaan perjanjian dan penyembuhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.  Selain itu, tak dapat dipungkiri, kasus malpraktik ini muncul karena banyaknya petugas kesehatan yang kemampuannya tidak mumpuni dalam melakukan penyembuhan dan juga keterangan pasien yang kurang detail saat diperiksa oleh petugas kesehatan.

Namun, alas an-alasan tersebut tidak semuanya tepat untuk dijadikan sebagai dasar adanya kasus malpraktik. Kasus malpraktik lebih menjurus pada kemampuan petugas kesehatan untuk menyembuhkan dan prosedur standar yang dilakuakan oleh petugas kesehatan tersebut untuk menyembuhkan. Tetapi, karena kurang mengertinya pasien mengenai dasar-dasar ini, mengakibatkan munculnya kasus malpraktik banyak bermunculan di pengadilan.

Penulis berharap, dengan adanya makalah ini, maka masyarakat lebih mengerti mengenai kasus malpraktik. Sehingga, pasien tidak sekedar mengajukan kasus kesehatannya sebagai kasus malpraktik dengan dasar yang kurang sesuai. Karena kasus yang didasarkan oleh dasar yang kurang tepat tersebut hanya akan membuang waktu dan biaya dari pasien dan petugas kesehatan.

Selain latar belakang tersebut, penulis juga ingin memenuhi tugas mata kuliah hukum kedokteran untuk membuat makalah.

1.2              Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini cukup sederhana, yakni:

  1. Menjelaskan apa pengertian malpraktik itu.
  2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan dalam hubungannya dengan bidang hukum.
  3. Menjelaskan perbedaan antara malpraktik dan resiko medis
  4. Menjelaskan pembuktian malpraktik
  5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum dalam hubungannya dengan kasus malpraktik.

1.3              Kasus

Untuk memberikan contoh kasus malpraktik, sebenarnya sudah dapat kita temukan sendiri di media massa dan media internet. Namun, agar pembaca dapat lebih mudah, maka penulis memberikan contoh- contoh kasus malpraktik yang muncul. Misalnya :

  1.  berita yang diberikan media Radar Malang :

Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006

SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS

Batu- Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu, 39, tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.

Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin, 40, kalut bukan kepalang.Bayi yang diidam idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.

Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.

Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.

Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.

Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.

Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.

Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.

Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya. (www.opensubscriber.com).

  1. Kasus Dr. Harold Shipman

The Press, New Zealand, 14 Januari 2004

Dr. Harold, seorang dokter umum di Hyde, Greater Manchester, telah melakukan seri pembunuhan terhadap pasien-pasiennya dan namanya juga telah dicoret dari Register General Medical Council. Ia dinyatakan bersalah ole GMC dengan tuduhan “serious professional misconduct”.

Dr. Harold membunuh 15 pasiennya dengan menyuntikkan “diamorphine” yang dikenal sebagai heroin. Dia merupakan pembunuh berdarah dingin yang telah menggunakan pengetahuan medisnya untuk menghilangkan nyawa pasiennya. Committee mengatakan bahwa sejumlah kematian pasiennya mengarah pada kematian yang disengaja (dolus), sebab di antara pasien-pasien tersebut, tidak ada yang ditemukan menderita penyakit, tetapi diberikan morphin oleh Dr. Harold. Di dalam banyak kasus ia juga membuat surat keterangan palsu yang cocok atau sesuai dengan penyebab kematian yang sebenarnya ia sebabkan. Misalnya, dia membuat surat testamen palsu terhadap seorang pasien (Mrs. Grundy)  dengan menyatakan bahwa pasiennya tersebut telah memberikan L 38.600.- dan meninggal karena usianya. Namun, ternyata Mrs. Grundy masih tergolong orang yang energetik dan aktif. Tetapi, dalam pemeriksaan lebih lanjut, telah ditemukan jumlah morphin yang sangat banyak dalam tubuh Mrs. Grundy.  Sedangkan surat testamen itu sendiri ditemukan dalam ruangan praktik Dr. Harold. Dicurigai  bahwa Dr. grundy telah membunuh 215 pasiennya yang sedang diselidiki. Ia kemudian dihukum penjara seumur hidup dan dilarang berpraktik sebagai dokter seumur hidupnya. Tetapi, keputusan untuk mencabut namanya dari status dokter merupakan wewenang GMC. Kemudian diberitakan juga bahwa Dr. Harold telah ditemukan gantung diri di kamar penjaranya. (buku: hukum medik – J. Guwandi, S.H).

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

2.1       Pengertian Malpraktik

 Istilah malpraktik sendiri telah diidentikkan dengan  malpraktik yang dilakukan dalam bidang medis. Hal ini telah terjadi di mana-mana, baik di Indonesia maupun di luar negri. Namun sebenarnya, kalau dilihat secara harafiah, tidak tepat untuk mengarahkan istilah malpraktik untuk bidang kesehatan saja. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hal ini telah menjadi lumrah dalam masyarakat umum, sehingga banyak ahli yang mengartikan malpraktik dengan selalu menghubungkannya dengan pihak atau petugas kesehatan.

Secara harafiah, malpraktik berasal dari kata “mal” yang mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.

Sedangkan difinisi malpraktik adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan wilayah yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Menurut Stedman’s Medical Dictionary malpraktik adalah salah satu cara mengobati suatu penyakit atau luka dengan sikap tindak yang  acuh,sembarangan, atau berdasarkan motivasi kriminal.

2.2              Jenis-Jenis Malpraktik dalam Hubungannya dengan Hukum

Dapat kita katakan bahwa semua bidang dalam kehidupan kita telah mempunyai hukumnya sendiri termasuk bidang kesehatan yang telah mempunyai hukumnya sendiri. Namun, perlu diterangkan bahwa hukum dalam hubungannya dengan bidang kesehatan yang diterangkan di sini ialah hukum yang tertulis. Meskipun dalam praktik, seorang hakim tidak mboleh menolak kasus yang diajukan, walaupun kasus tersebut belum mempunyai dasar hukum tertulis.

Terdapat contoh yang dapat diterangkan mengenai malpraktik dalam hubungannya dengan bidang hukum. Misalnya dalam bidang hukum yang biasa disebut dengan istilah malpraktik yuridis, seperti malpraktik sipil (civil malpractice), malpraktik administrasi (administration malpractice), dan criminal malpractice.

  1. 1. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice, antara lain: tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna, melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

  1. 2. Administrative malpractice

Tenaga bidang kesahatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice apabila tenaga bidang kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

  1. 3. Criminal Malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan    perbuatan tercela

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

c. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

d.  Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

e. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.

Pertanggung jawaban di depan hukum pada criminal malpractice bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.3              Perbedaan Malpraktik dan Resiko Medis

Sebelum lebih jauh melangkah ke depan untuk menjelaskan tentang pembuktian malpraktik, kita harus tahu membedakan anatara malpraktik dan resiko medis. Perbedaan yang ingin dijelaskan di sini cukup sederhana, yaitu malpraktik menyebabkan petugas kesehatan  dapat dituntut, sedangkan resiko medis tidak dapat menyebabkan petugas kesehatan dituntut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan uraian singkat ini.

Untuk dapat menikmati manfaat dari semua tindakan kita, pasti ada resiko yang akan kita hadapi. Hal inilah yang selalu kita temukan dalam kehidupan kita, meskipun resiko itu tergolong resiko yang sangat kecil dibandingkan dengan manfaat yang akan kita hadapi dan tak perlu diperhatikan sebagai suatu hambatan. Namun dalam hubungannya dengan bidang kesehatan, kita harus memperhatikan resiko itu, sekecil apapun itu, karena saat kita berbicara tentang kesehatan, maka hal itu dapat berujung pada kelumpuhan atau bahkan kematian.

Dalam bidang kesehatan, hasil yang tidak diharapkan dapat saja muncul karena beberapa kemungkinan, yakni :

  1. Hasil dari sebuah perjalanan penyakit, atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubunganya dengan tindakan medic yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
  2. Hasil dari resiko yang tak dapat dihindari, misalnya :
    1. Resiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Resiko ini sangat mungkin terjadi dalam dunia kesehatan karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi. Misalnya syok anafilaktik.
    2. Resiko yang telah diketahui sebelumnya (forseeable) tetapi dapat diterima (acceptable). Resiko ini biasanya telah diinformasikan kepada pasien sebelum tindakan medic dilakukan, baik resiko itu tergolong kecil dan dapat diantisipasi maupun yang tergolong besar karena merupakan satu-satunya cara untuk dapat disembuhkan, terutama dalam keadaan darurat.

Resiko medic di Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dijelaskan dalam beberapa bentuk lain, yakni :

  1. Informed consent , yakni merupakan persetujuan tindakan medic yang ditandatangani oleh pasien yang mengizinkan suatu tindakan tertentu terhadap dirinya. Dokumen ini bermaksud agar melindungi petugas kesehatan dari tuntutan yang mungkin akan muncul di kemudian hari dan merupakan pernyataan penentuan nasib sendiri oleh pasien tersebut.
  2. Pasal 45 ayat (1), (2), (3),(4),(5) undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
  3. Peraturan Mentri  Kesehatan Republik Indonesia nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medic.
  4. Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia tentang informed consent.

Selain itu,  dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau assumpsion of risk yang maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang sudah ia ketahui, maka ia tak dapat menuntut pertanggung jawaban pada orang lain apabila hal itu benar-benar terjadi.

2.4.1.      Pembuktian Malpraktik

Malpraktik dapat masuk ke ranah hukum pidana bila :

  1. Syarat sikap batin dokter : sengaja atau tidaknya seorang dokter melakukan malpraktik medic.
  2. Syarat perlakuan medis : perlakuan medis yang menyimpang atau tidak sesuai prosedur standar.
  3. Syarat mengenai hal akibat : timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien

Namun, ada juga yang disebut rahasia medic yang diatur dalam pasal 322 KUHP, yang menerangkan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran.

Dalam perkembangan pelayanan medis ternyata memiliki berbagai faktor yang turut mempengaruhi sehingga telah mengakibatkan hubungan antara dokter dan pasien semakin tidak pribadi. Misalnya, semakin banyak pasien menunggu dan dokter mengejar waktu untuk berpraktek di tempat lain atau dengan semakin banyak peralatan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapeutik yang digunakan sehingga tidak lagi diperlukan penanganan secara langsung oleh dokter sendiri sehingga dokter sering lalai dan mempercayakan seluruhnya kepada peralatan medis tersebut.

Telah menjadi kenyataan bahwa alat teknologi medis yang maju mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan jangkauan diagnosis dan terapi sampai kepada batasan yang tidak dibayangkan atau diduga sebelumnya. Kendati demikian alat teknologi yang modern tidak selalu mampu menyelesaikan problema penyakit dari seorang penderita, bahkan adakalanya menimbulkan efek samping bagi pasien seperti misalnya cacat, bahkan sampai mengakibatkan kematian.

Sampai sekarang, hukum kedokteran di indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya[1]. Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktek kedokteran yaitu ”setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Aturan ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat tindakan yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk  menutut ganti rugi atas malpraktek kedoteran. Pasal itu hanya mempunyai sudut hukum administrasi praktikkedokteran.

Malpraktek medik memang merupakan konsep pemikiran Barat khususnya Amerika. Dalam kepustakaan Amerika secara jelas menggunakan medical malpractice karena istilah ini berkembang dari sistem hukum tort atau sistem juri yang mana tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.

Tuntutan terhadap malpraktek kedokteran seringkali kandas di tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan mengemukakan alasan-alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapatkan kesulitan dalam mengahadapi masalah malpraktek kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan karena memang belum diatur secara khususnya mengenai malpraktek medik di Indonesia.

Penegakan hukum tindak pidana malpraktek medik masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mengatur secara khusus atau tidak dikenal adanya tindak pidana malpraktek medik. Pemberlakuan ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam KUHP hanya merupakan ultimum remedium, yakni ketentuan-ketentuan pidana yang digunakan karena dalam penyelenggaraan praktek kedokteran telah menimbulkan korban baik luka, cacat serta kematian sementara tidak diaturnya ketentuan khusus tentang tindak pidana malpraktek medik dalam penyelenggaraan praktek kedokteran. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya mengatur mengenai pemberian perlindungan terhadap hak korban akibat pelanggaran HAM berat dengan memberikan hak kompensasi dan restitusi, sedangkan perlindungan hak korban yang diakibatkan oleh malpraktek medik (bukan pelanggaran HAM berat) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memberikan hak ganti kerugian materiil.

Dari definisi Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956 malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).

Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?

Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.

Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Namun biasanya dalam kasus criminal malpractice pembuktiannya  dilakukan dengan 2 cara, yakni :

  1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan 1) Adanya indikasi medis, ) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

Lalu bagaimanakah cara menghadapi tuntutan hukum dalam hubungannya dengan kasus malpraktik?

Dalam kasus tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :

  1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. Dalam informal defence ini hendaknya bidan  menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
  2.  Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Dengan demikian, bidan harus membuktikan hal-hal di atas agar dapat terlepas dari tuntutan.

BAB III          PENUTUP

3.1.      Kesimpulan

            Dengan semakin banyaknya kasus malpraktik, dapat dikatakan bahwa kualitas dunia kesehatan masih belum cukup baik, bahkan perkembangan hukum yang berkaitan dengan dunia kesehatanpun masih belum cukup untuk memenuhi harapan. Namun, aturan-aturan yang ada dan fasilitas yang disediakan untuk dunia kesehatan tidak dapat disalahkan hanya karena semakin banyaknya kasus malpraktik. Kita sebagai orang yang menggunakan aturan  dan fasilitaas itulah yang harus lebih meningkatkan SDM.

3.2.      Saran

            Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Apa lagi bila masalah kesehatan itu memang memerlukan rujukan. Setiap etugas kesehatan harus memperhatikan hal sederhana dalam melaksanakan tugas-tugasnya.  Tetapi juga, seorang pasien harus mau jujur secara terbuka saat menyampaikan masalah kesehatannya kepada petugas kesehatan. Kita harus bias membedakan malpraktik dan resiko medis serta kelalaian petugas kesehatan dan harus lebih mengerti hukum kesehatan agar tidak hanya asal mengajukan tuntutan kepada pengadilan mengenai masalah malpraktik.