KETEPATAN KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG DIHADAPKAN PADA KONDISI MASYARAKAT INDONESIA SEKARANG INI

BAB 1. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

Pada tanggal 27 April 2002 lalu, Indonesia melakukan pengesahan undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang. Setahun kemudian, pemeritah dan legislatif harus merevisi UU tersebut dan hadirlah Undang- undang nomor 25 tahun 2003 tentang TPPU. Kehadiran UU ini karena adanya ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam UU sebelumnya yang masih dianggap lemah. Pengesahan undang-undang ini tentu merupakan langkah yang sangat berani bagi Indonesia, karena saat itu belum banyak orang yang mengetahui tentang pencucian uang itu sendiri. Hanya orang-orang yang berpendidikan sangat tinggi, berwawasan internasional, dan sering berkecimpung di bidang hukum pidana saja yang mengetahui tentang pencucian uang. Namun kriminalisasi pencucian uang saat itu tetap diakukan dengan berbagai pertimbangannya.

 Pencucian uang merupakan kejahatan yang dilakukan di atas kejahatan lain atau biasa disebut follow-up crime untuk menyembunyikan hasil kejahatan dengan cara yang seolah-olah sah secara hukum. Ini membuktikan juga bahwa pelaku tindak pidana pencucian uang selalu berusaha mengelabui hukum. Sehingga pelaku-pelaku itu memerlukan strategi yang sangat teliti dan detail jika tidak ingin tertangkap. Dengan demekian, dapat dipastikan bahwa pelaku-pelaku kejahatan pencucian uang merupakan orang-orang yang berpengalaman dan sudah mempunyai strategi untuk mengelabui hukum di Indonesia. Jadi untuk dapat menjerat pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang tentu tidaklah gampang. Indonesia juga harus menyiapkan undang-undang yang teliti dan detail agar pelaku-pelaku pencucian uang itu pun dapat terjerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang pencucian uang itu sendiri.

Kenyataannya sampai sekarang pun, Indonesia hanya memiliki sedikit orang yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas untuk berkecimpung dalam bidang tindak pidana pencucian uang. Tidak mengherankan jika ada yang meragukan ketepatan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang. Orang-orang tidak meragukan kemampuan para ahli yang berkecimpung dalam undang-undang pencucian uang, tetapi yang diragukan ialah kesiapan masyarakat Indonesia sekarang untuk menerima kriminalisasi pencucian uang ini.

Meskipun masyarakat Indonesia diharuskan siap untuk menerima kriminalisasi pencucian uang ini, namun tak dapat dipungkiri bahwa kesiapan masyarakat Indonesia juga harus dipertimbangkan dalam melihat  kriminalisasi pencucian uang. Maksudnya, kriminalisasi pencucian uang memang sudah tepat dilakukan, tetapi bagaimana kesiapan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan undang-undang pencucian inilah yang harus diperhatikan juga. Sebab dalam berbagai bidang kehidupan, masyarakat Indonesia masih terhitung lemah, misalnya dalam bidang intelektual dan ekonomi.

 

B.    Rumusan Masalah

 

Kriminalisasi pencucian uang tentu menjadi keharusan bagi Indonesia sebagai suatu Negara hukum. Apalagi kriminalisasi pencucian uang ini mempunyai peran penting dalam mengatasi berbagai tindak pidana yang ada di Indonesia. Misalnya saja, tindak pidana yang sedang marak dalam perbincangan media di Indonesia yakni korupsi dan narkotika. Tidak hanya itu, dalam buku Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering) karya Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH juga dijelaskan bahwa kriminalisasi pencucian uang mempunyai paling tidak tiga alasan, yakni :

1.    Mengatasi masalah narkotika dan korupsi.

2.    Menjaga hubungan dengan lembaga-lembaga Internasional.

3.    Penegakan undang-undang itu sendiri.

Namun, peran kriminalisasi pencucian uang harus dihadapkan pada kesiapan masyarakat Indonesia sendiri, baik dari segi intelktual maupun dari segi peradaban masyarakat Indonesia yang belum merata di setiap wilayah. Tentu saja perbenturan ini menimbulkan dampak kepada orang-orang di Indonesia untuk sejauh mana dalam melaksanakan hukum di Indonesia.

Dari uraian singkat di atas, muncullah permasalahan-permasalahan seperti berikut:

1.    Bagaimana peran kriminalisasi pencucian uang terhadap kondisi masyarakat Indonesia sekarang?

2.    Bagaimana hubungan kriminalisasi pencucian uang dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang?

3.    Bagaimana kesiapan masyarakat Indonesia sendiri terhadap kriminalisasi pencucian uang?

 

C.   Tujuan Penulisan

 

Penulisan ini mempunyai beberapa tujuan, antaranya:

1.    Mengetahui pemahaman tentang hukum sejauh mana pemahaman masyarakat Indonesia tentang kriminalisasi pencucian uang di indonsia

2.    Memahami kriminalisasi pencucian uang sebagai salah satu upaya menekan tindak pidana korupsi dan narkotika di Indonesia.

3.    Meninjau kembali ketepatan kriminalisasi pencucian uang terhadap pemahaman masyarakat Indonesia pada saat ini.

4.    Pemenuhan tugas kuliah Tindak Pidana di Bidang Ekonomi

5.    Partisipasi penulis sebagai mahasiswa dan warga Negara Indonesia.

 

D.   Manfaat Penulisan

 

Adapun beberapa manfaat dari penulisan ini, yakni:

1.    Pembaca dapat mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat tentang kriminalisasi pencucian uang.

2.    Pembaca dapat mengetahui pentingnya kriminalisasi pencucian uang

3.    Pembaca dapat memahami adanya kriminalisasi pencucian uang

4.    Meningkatkan pengetahuan tentang pencucian uang.

 

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

A.   Pencucian Uang

 

Salah satu ahli pencucian uang yang paling terkenal di indonesia ialah Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH yang menyelesaikan desertasinya mempelajari 600 jurnal dan 250 putusan tentang pencucian uang di Amerika Serikat. Tentu saja tidak akan ada yang meragukan kemampuannya lagi. Bahkan Dr. Yenti Garnasih, SH, MH sudah tercatat dalam sejarah pendidikan Indonesia sebagai penulis buku Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Dalam bukunya yang berjudul Kriminalisasi Pencucian Uang itu, Ibu Dr. Yenti Garnasih, SH, MH memberikan pengertian tentang pencucian uang, yakni sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius , korupsi , pengelakan pajak, judi, penyelundupan, dan lain-lain yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang nampak sah agar dapat digunakan dengan aman. Pengertian ini sudah cukup jelas untuk menerangkan secara singkat tentang arti dari pencucian uang itu sendiri.

Istilah pencucian uang itu sendiri sebenarnya merupakan istilah yang merujuk pada tindakan para pelaku pidana untuk mencuci uang hasil kejahatan atau uang kotor menjadi bersih. Dengan kata lain, pelaku pidana pencucian uang membuat uang hasil kejahatan itu seolah-olah merupakan hasil kerja keras yang sah atau halal. Tujuannya cukup sederhana, yakni menghindari penyitaan terhadap uang kotor tersebut. Sehingga bila kejahatan yang dilakukan untuk menghasilkan uang kotor itu sudah terbongkar, uang kotor itu sendiri tidak dapat disita karena sudah seperti uang yang didapatkan secara halal.

Dalam buku kriminalisasi pencucian uang juga dijelaskan, ada tiga tahap dalam melakukan pencucian uang, yakni placement, layering, dan integration. Ketiga tahap ini dapat terjadi dalam satu transaksi ataupun dalam transaksi-transaksi berbeda.

Tahap pertama ialah placement, dimana uang disimpan dalam bentuk yang tingkat kecurigaan terhadap cara memperolehnya mulai berkurang. Contohnya uang itu disimpan di bank, asuransi, dan lain-lain.

Tahap kedua ialah layering, dimana uang kotor yang tadinya disimpan digunakan kembali oleh pelaku untuk melakukan transaksi-transaksi baru, sehingga sumber dari uang kotor itu dapat disembunyikan. Contohnya, uang kotor itu dikirim dan disimpan kembali di bank luar negri, sehingga semakin sulit untuk melacak kembali uang itu, karena adanya hak dari bank untuk menahan informasi tentang nasabahnya. Dengan kata lain, bank tersebut dapat mengintervensi pelacakan terhadap uang kotor itu.

Tahap ketiga ialah integration, dimana uang yang disimpan di bank luar negri itu ditarik kembali untuk digunakan dalam transaksi baru yang sah. Namun,ada banyak cara untuk melakukan penarikan uang dari bank luar negri tersebut, antaranya ada  yang melakukannya dengan cara loan-back. Cara loan back ini cukup sederhana, misalnya uang kotor yang disimpan di bank “A” luar negri berjumlah 5 juta dollar AS, maka pelaku kemudian melakukan peminjaman kepada bank itu sejumlah 5 juta dollar AS juga. Sehingga, uang kotor itu seakan-akan berasal dari transaksi peminjaman yang sah dari bank “A”. Dengan begitu pelaku dapat leluasa melakukan transaksi baru yang memang sah secara hukum. Kemudian  transaksi baru yang dilakukan pelaku menghasilkan uang yang bersih karena berasal dari transaksi yang sah.

Ada dua cara dalam melakukan  pencucian uang, yakni cara tradisional dan cara modern. Cara tradisional merupakan cara yang dilakukan dengan sangat rahasia. Cara ini biasanya dilakukan oleh jaringan tertentu, bahkan oleh etnik-etnik tertentu. Misalnya, hui (hoi) atau the china chit (chot) di china, hawala di india, dan hundi di Pakistan. Cara tradisional ini dilakukan dengan modal kepercayaan yang sangat kuat antara pihak-pihak yang berhubungan. Sehingga sangat sulit untuk dilacak peredaran uang kotor di kalangan masyarakat. Apalagi di antara cara-cara tradisional itu ada yang tidak menggunakan pembukuan sehingga tidak meninggalkan jejak pencucian uang. Bahkan dapat dikatakan cara ini mustahil untuk dibuktikan.

Sedangkan cara modern merupakan cara yang melibatkan bank dan teknologi canggih dalam melakukan proses pencucian uang. Misalnya, melalui transfer antar bank internasional dan penggunaan electronic money/ e-money. Cara modern ini biasanya mempunyai lima tahap yakni:

1.    Consolidation

2.    Externalization

3.    Agitation

4.    Legitimation

5.    Repatriation

Pada tahap consolidation, pelaku menggabungkan uang dari banyak sumber, kemudian pada tahap kedua, pelaku membuat simpanan pribadi dari uang yang telah terkumpul itu dan mengirimnya melalui transfer antar bank internasional ke bank yang berada di luar jangkauan penyidik hukum yang mengejar atau melacak uang itu.pada tahap agitation, uang kotor itu kembali digunakan dalam bentuk bisnis yang sah. Selanjutnya  uang itu menjadi uang yang Nampak halal atau sah. Dalam menjalankan cara modern ini, pelaku menggunakan teknologi canggih.

 

 

B.   Kriminalisasi pencucian uang

 

Kriminalisasi merupakan  proses mengkriminalkan suatu bentuk perbuatan. Dengan bahasa sederhananya, kriminalisasi merupakan suatu bentuk atau proses mengundang-undangkan suatu perbuatan atau usaha untuk mengatasi kejahatan. Dalam konteks hukum pidana, kriminalisasi identik dengan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal adalah upaya rasional dari suatu negara untuk mengatasi kejahatan yang pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya perlindungan masyarakat yang tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Secara umum kriminalisasi dilakukan dengan menggunakan dua sarana, yakni penal dan nonpenal. Sarana nonpenal ialah sarana yang tidak menggunakan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan penal ialah sarana yang menggunakan hukum pidana dalam proses menanggulangi kejahatan. Biasanya kriminalisasi menggunakan sarana penal ini meliputi dua hal, yakni:

1.    Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana

2.    Sanksi apa yang diberikan kepada pelaku tindak pidana itu

Dalam prosesnya kriminalisasi mempunyai beberapa syarat, yakni :

1.    Adanya korban

2.    Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan

3.    Harus berdasarkan asas ratio principle

4.    Adanya kesepakatan social

Keempat syarat tersebut ditentukan setelah melalui pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional

2.    Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat

3.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi masyarakat.

4.    Penggunaan hukum pidana harus juga memperhitungkan prinsip biaya dan hasil.

Tujuan dari kriminalisasi itu sendiri, tidak boleh terlepas dari keseluruhan tujuan dari kebijakan criminal. Kriminalisasi juga merupakan pemenuhan dari asas legalitas dimana suatu perbuatan akan menjadi suatu persoalan bila telah diatur oleh undang-undang. Asas legalitas ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap warga Negara. Jadi untuk membentuk suatu undang-undang atau peraturan, harus dilakukan pembelajaran terhadap berbagai macam factor dalam kehidupan masyarakat. Sehingga , dapat diketahui hakikat dari perbuatan yang hendak diatur itu. Jadi dengan disahkannya undang-undang pencucian uang di Indonesia, maka dapat disimpulkan telah dilakukannya pembelajaran tentang pencucian uang itu dan pencucian uang itu sendiri telah berhubungan dengan berbagai factor dalam masyarakat Indonesia. Bahkan dapat dipastikan kriminalisasi pencucian uang ini pun telah memenuhi syarat kriminalisasi itu sendiri.

Tujuan dari kriminalisasi pencucian uang itu sendiri ialah:

1.    Untuk mengatasi masalah internasional yang serius, yakni masalah pencucian uang itu sendiri

2.    Kriminalisasi pencucian uang merupakan cara paling efektif dalam proses mencari pemimpin organisasi kejahatan

3.    Pelaku kejahatan pencucian uang lebih mudah ditangkap dibandingkan dengan pelaku kejahatan utamanya.

4.    Mencegah digunakannnya lembaga keuangan baik nasional maupun internasional dalam rangka pencucian uang.

Jadi kriminalisasi pencucian uang sebenarnya ialah salah satu usaha untuk menekan kriminalitas di Indonesia, khususnya kriminalitas yang ada di bidang ekonomi dan merupakan salah satu langkah efektif untuk menanggulangi kejahatan yang terorganisasi.

Namun, meskipun kriminalisasi pencucian uang ini dilakukan untuk mencegah dan menekan kriminalitas, ternyata kriminalitas juga menimbulkan masalah-masalah. Masalah-masalah ini pun tidak boleh dianggap remeh. Setidaknya ada dua masalah pokok dalam kriminalisasi pencucian uang menurut Ibu Dr. Yenti Garanasih, SH, MH , yakni kerahasiaan bank dan pembuktian. Kedua pokok permasalahan ini timbul secara otomatis dalam penerapan kriminalisasi pencucian uang. Sebab kedua permasalahan ini berhubungan sangat erat dengan kriminalisasi pencucian uang.

Kerahasiaan bank merupakan hal yang paling diunggulkan dalam jalannya lembaga keuangan bank itu sendiri. Kerahasiaan bank ini mencakup rahasia nasabah dan sebagainya. Bank harus menjamin keamanan dan kenyamanan informasi keuangan nasabah. Dan hal ini merupakan kewajiban setiap bank di mana pun. Namun dengan adanya kriminalisasi pencucian uang, maka kerahasiaan ini harus diperlonggar. Hal ini dibuktikan dengan keharusan bank untuk memberikan informasi kepada penegak hukum apabila diminta, tetapi bank pun tidak diperbolehkan memberikan hasil pemeriksaan itu kepada nasabah. Dengan diperlonggarnya kerahasiaan bank ini, maka tentu yang paling merasa dirugikan ialah nasabah atau konsumen, sebab mereka mempunyai hak privacy sebagai seorang nasabah.

Dengan begitu terjadi perbenturan antara kriminalisasi pencucian uang dan hak privacy nasabah. Perbenturan itu tidak lain ialah kewajiban bank untuk menjaga rahasia nasabah dan kebutuhan informasi tentang keuangan yang terlibat dalam criminal. Kebutuhan informasi ini tentu diperlukan karena semua persoalan dapat dipecahkan jika ada informasi tentang persoalan itu. Namun hak individu tetap harus dijaga oleh bank karena rahasia bank  merupakan prinsip bisnis dan kenfidensial.

Sedangkan masalah lain yang timbul seiring kriminalisasi pencucian ini ialah pembuktian. Pembuktian dalam kasus pencucian uang sangatlah sulit. Hal ini disebabkan pencucian uang merupakan kejahatan yang dilakukan di atas kejahatan lain atau istilah yang biasa digunakan ialah follow up crime. Dengan status follow up crime, maka secara otomatis pembuktian terhadap kejahatan awal harus dibuktikan lebih dahulu. Misalnya saja dalam kasus narkotika, ada dua tugas yang harus dilakukakan sebagai seorang lawyer. Tugas pertama, seorang pengacara harus mengerti betul bahwa unsur-unsur tindak pidana pencucian uang sangatlah rumit. Maka seorang lawyer harus membuktikan paling kurang tiga hal, yakni:

1.    Dana yang terlibat dalam transaksi merupakan dana yang berasalah dari hasil kejahatan perdagangan gelap narkotika.

2.    Bahwa terdakwa mengetahui dana tersebut berasal dari hasil kejahatan perdagangan gelap narkotika.

3.    Bahwa terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Kepemilikan dari uang hasil kejahatan tidak mendukung kesimpulan bahwa terdakwa berniat untuk melakukan transaksi. Walaupun undang-undang menyatakan bahwa percobaan untuk melakukan transaksi atau transfer merupakan bukti cukup sebagai tindak pidana.

Tugas kedua, yakni pemahaman dari pengacara sendiri untuk memperluas bukti. Hal ini merupakan konsekuensi dari tugas pertama. Perluasan ini termasuk menggunakan circumstancial evidence untuk membuktikan tiga unsur pidana tersebut. Tentu tidak mudah dalam melaksanakan tugas pencucian uang ini. Sekalipun pemerintah mempunyai bukti-bukti, belum tentu pelaku dapat dijerat dengan mudah mengingat para pelaku pencucian uang biasanya orang yang berpengalaman dalam melakukan tindak pidana.

            Bahkan untuk mencegah terjadinya pencucian uang ini, dunia pun ikut bertindak. Indonesia tidak bekerja sendirian untuk mencegah tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh warga Indonesia. Sebab pencucian uang tidak hanya bisa terjadi di dalam satu Negara saja, tetapi bisa terjadi antar Negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerja sama internasional untuk mengatasi masalah pencucian uang ini.

            Dalam upaya pencegahan terjadinya pencucian uang, lahir salah satu upaya yang disebut international legal regim. International legal regim ini lahir pada tahun 1988 melalui United against illicit traffic in narcotic and psychotropic substances dengan nama international anti money laundering legal regime. Regim ini berupaya untuk memantau dan mengatur aktivitas dan hubungan international dalam bidang tertentu , menetapkan beberapa norma, peraturan dan prosedur, yang disepakati dalam rangka mencegah dan pencucian uang.

Indonesia bersama 51 negara lain termasuk dalam major money laundering countries. Artinya, Indonesia juga terlibat dalam transaksi sejumlah besar dana yang berasal dari perdagangan gelap obat bius internasional. Indonesia menjadi salah satunya dengan alasan, pertama  Indonesia tidak pernah menyanyakan dari mana asal uang hasil transaksi yang disimpan di bank-bank Indonesia. Kedua Indonesia juga menganut system devisa bebas dengan perekonomian yang terbuka yang artinya siapa saja dapat mempunyai devisa di Indonesia dan menggunakannya untuk kepentingannya. Ketiga , peraturan tentang rahasia bank di Indonesia masih sangat ketat. Keempat, krisis ekonomi di Indonesia sejak 1997 yang dianggap masih belum pulih yang menyebabkan Indonesia memerlukan pinjaman dari luar negri. Bahkan FATF memasukan Indonesia sebagai salah satu Negara yang tidak kooporatif dalam memberantas pencucian uang. Alasan yang dikeluarkan FATF ialah pertama, PPATK baru berfungsi 18 bulan setelah undang-undang no.15 tahun 2002 dikeluarkan. Waktu 18 bulan dianggap terlalu lama. Kedua, batas minimum pelaporan transaksi ialah 500 juta rupiah. Hal ini membuat FATF menganggap Indonesia tidak serius dalam menghadapi pencucian uang.

FATF sendiri telah mengeluarkan rekomendasinya dalam usaha memberantas pencucian uang ini yang terkenal dengan 40+9 FATF recommendation. Rekomendasi tersebut juga digunakan oleh masyarakat internasional dalam penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang. Lembaga ini merupakan salah satu infrastruktur terpenting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang di tiap negara. Keberadaan lembaga khusus ini mutlak ada dan memainkan peranan sangat strategis karena masalah pencucian uang merupakan persoalan yang sangat rumit, melibatkan organized crime yang memahami berbagai teknik dan modus kejahatan canggih. Penanganan isu pencucian uang menjadi bertambah berat terlebih karena karakteristik kejahatan ini pada umumnya dilakukan melewati batas-batas negara (cross-border). The Financial Action Task Force (FATF) yang didirikan tahun 1989 yang mempunyai tugas menciptakan suatu standar kebijakan dalam rangka pencegahan kegiatan money laundering. Dalam 40 rekomendasinya, diatur juga secara implisit tentang keberadaan lembaga financial intelligence unit (FIU). FIU adalah lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang.

Tentu saja tekanan-tekanan dan kerja sama internasional ini berpengaruh besar pada Indonesia, di antaranya :

1.    IMF memberikan syarat Indonesia harus mempunyai ketentuan anti pencucian uang jika ingin mendapatkan kucuran dana dari IMF.

2.    Bank-bank Indonesia diharuskan mengenal customer dan harus mempunyai system pelaporan yang memadai. Bahkan bank Indonesia pun harus mengeluarkakn peraturan baru agar bisa menjalankan tuntutan ini.

Dengan demikian, Indonesia pun mengesahkan undang-undang no. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.

 

C.   Tepatkah kriminalisasi pencucian uang?

 

Saat kriminalisasi pencucian uang disahkan, sudah ada banyak prediksi tentang bagaimana jalannya undang-undang tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Prediksi itupun tak luput dari seorang Dr. Yenti Garnasih, SH, MH   sebagai salah satu ahli pencucian uang di Indonesia. Dalam bukunya, Ibu Dr. Yenti Garnasih , SH, MH menyatakan setidaknya tiga kendala dalam pelaksanaan undang-undang tindak pidana pencucian uang. Tiga kendala itu ialah:

1.    Kelemahan dari Undang-undang No. 15 tahun 2002 itu sendiri

2.    Aparatur perlu mendapat perbaikan

3.    Budaya hukum masyarakat Indonesia belum mendukung anti pencucian uang.

Meskipun sebagai suatu upaya untuk menegakkan keadilan dan undang-undang , tentu tidak mengherankan bila undang-undang tindak pidana pencucian uang memiliki kelemahan. Pembuatan undang-undang ini  terburu-buru karena adanya tekanan dari pihak internasional. Selain itu ahli pencucian uang di Indonesia juga hanya ada beberapa orang saja.

Tekanan pihak internasional tidak bisa dilepaskan dari adanya kelemahan di dalam undang-undang pencucian uang itu sendiri. Paksaan dari berbagai pihak diarahkan kepada Indonesia untuk segera melakukan kriminalisasi pencucian uang. Bahkan Indonesia dimasukkan sebagain Negara yang memiliki bank tempat penyimpanan uang hasil kejahatan. Tidak hanya itu, Financial Action Task Force (FATF) pun memasukkan syarat untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang dalam rangka mengucurkan dana untuk Indonesia. Indonesia seakan-akan mau tak mau harus melakukan kriminalisasi pencucian uang itu. Dengan adanya paksaan ini, jelaslah Indonesia saat itu, belum dalam keadaan siap 100% dalam menyiapkan undang-undang tindak pidana pencucian uang. Alhasil undang-undang tindak pidana pencucian uang ini memiliki kelemahan.

Tidak hanya paksaan dari luar negeri yang melemahkan pelaksanaan undang-undang pencucian uang ini. Kurangnya integritas dan profesionalisme dari penyedia layanan keuangan dan aparatur Negara pun menjadi salah satu alasan. Dengan kurangnya integritas dan profesionalisme dari aparatur Negara , sangat sulit untuk mendeteksi terjadinya pencucian uang. Sebab, untuk mendeteksi adanya transaksi-transaksi mencurigakan, dibutuhkan integritas dan sikap professional dari aparatur Negara. Apalagi berkaitan dengan mendeteksi pencucian uang ini, penyedia layanan jasalah yang wajib melaporkan jika ada transaksi mencurigakan. Sementara batasan transaksi mencurigakan itu masih belum memadai yakni hanya jika transaksi itu bernilai paling kurang Rp. 500.000.000,-. Jelas saja, dengan kurang jelasnya batasan tentang transaksi mencurigakan ini, membuat transaksi-transaksi yang bernilai Rp. 500.000.000,- ke atas akan dilaporkan terlepas dari wajar tidaknya transaksi itu. Dengan banyaknya laporan tentu saja konsumen penyedia layanan keuangan akan kecewa. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan penyuluhan, pelatihan, dan sosialisasi dari pihak pemerintah tentang undang-undang pencucian uang ini.

Kasus korupsi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, menjadi headline dalam berbagai media. Sebut saja, kasus hambalang, century, penyuapan hakim dan simulator sim yang sekarang sedang marak dibicarakan. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa aparatur Negara di Indonesia belum memiliki integritas yang tinggi, apa lagi tentang professional kerja. Tidak hanya kasus korupsi saja, bahkan antara tentara dan kepolisian pun terjadi bentrok. Misalnya saja penyerangan hoku dan di lapas cebongan yang melibatkan beberapa pihak kopasus. Hal ini tentu menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pihak penegak hukum.

Saat ini, masyarakat tentu sedang ragu untuk meletakkan kepercayaannya di pundak penegak hukum. Kondisi penegak hukum di Indonesia yang jauh dari memuaskan membuat masyarakat Indonesia berada dalam situasi pasrah.

Secara umum, ada tiga bentuk tindak pidana pencucian uang :

1.    Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

2.    Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

3.    Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sementara sanksinya sangatlah berat, yakni penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 10 milyar rupiah.

Bentuk tindak pidana pencucian uang pasif (kedua) sangat memberatkan masyarakat Indonesia. Bentuk- bentuk  penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan penukaran diharuskan untuk diselidiki sendiri oleh masyarakat Indonesia. Sementara masyarakat Indonesia banyak yang belum memahami adanya undang-undang pencucian uang  dan bahkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat kemiskinan, masyarakat Indonesia harus menyelidiki sendiri dan kemudian melapor kepada yang berwajib. Bahkan di kota-kota besar pun banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami hukum. Dan adanya pelaku pasif ini, masyarakat yang belum tahu bagaimana menyelidiki asal usul uang itu bisa dihukum bila tidak melapor. Pemerintah pun belum memberikan cara yang jelas dan tepat tentang bagaimana menyelidiki asal usul uang hasil kejahatan. Apalagi masyarakat Indonesia biasanya enggan untuk menanyakan kondisi ekonomi dan asal usul uang orang lain. Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya di bagian timur Indonesia, merupakan hal yang kurang sopan untuk menanyakan tentang asal usul hasil kerja orang lain, apalagi kalau orang tersebut baru dikenal. Kebudayaan masyarakat Indonesia khususnya Indonesia bagian timur juga, sangat sulit untuk mencurigai orang-orang yang memberikan hibah, sumbangan, dan bahkan penitipan. Sanksi untuk masyarakat Indonesia yang berkebudayaan seperti ini pun terasa kurang adil. Denda 10 milyar rupiah bagi masyarakat Indonesia dengan tingkat kemiskinan yang tinggi ini terlalu berat.

Bahkan masyarakat Indonesia di bagian timur belum tentu mengetahui tempat yang tepat untuk melaporkan transaksi mencurigakan meskipun sudah dicantumkan dalam undang-undang. Tempat melaporkan tentang transaksi keuangan yang tepat ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK  sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut:

1.    Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;

2.    Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

3.    Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan

4.    analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Sementara wewenang PPATK, yaitu: Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan; Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan oleh penyidik atau penuntut umum; Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan, kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan; Memberikan pengecualian kewajiban pelaporanmengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai. Pesatnya kemajuan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan empuk bagi para pelaku kejahatan pencucian uang. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang.

Meskipun kriminalisasi pencucian uang ini dilakukan untuk penegakan hukum., namun tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih memegang kebudayaan dengan sangat erat. Bahkan budaya ini masih dipegang erat oleh karyawan-karyawan bank dan penyedia jasa layanan keuangan. Karyawan-karyawan bank dan penyedia layanan jasa keuangan ini pun masih enggan menanyakan asal usul keuangan dari seorang nasabah. Tanpa disadari budaya ini justru menjerumuskan masyarakat Indonesia ke dalam penjara selama 20 tahun dan denda 10 milyar rupiah.

Menyadari hal ini, seharusnya karyawan-karyawan bank lebih professional dalam menjalankan  tugas mereka dan diberikan pelatihan, penyuluhan dan sosialisasi tentang pencucian uang itu sendiri. Sedikitnya ahli pencucian uang di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang pencucian uang.

Namun, dengan adanya undang-undang tindak pidana pencucian uang ini juga Indonesia berhasil lolos dari daftar hitam FATF. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso kepada Tempo  18 Maret 2012 lalu. Upaya penanggulangan kejahatan pencucian uang juga harus dilihat dari konteks keselurahan. Kebijakan sosial untuk kesejahtaraan masyarakat antara lain didahului kriminalisasi dan tetap didasarkan pada upaya penanganan atas kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak langsung karena kejahatan ini sangat berbahaya dan perlu mendapatkan perhatian khusus.

Tidak hanya lolos dari daftar hitam FATF saja, Indonesia pun berhasil mendapatkan beberapa tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di Indonesia, di antaranya :

1.    kasus pencucian uang Rp 80 miliar di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

2.    Kasus pencucian uang Citibank oleh Melinda Dee

3.    Luthfi Hasan Ishaaq yang baru saja jadi tersangka kasus pencucian uang

4.    Kasus pencucian uang nazarudin

5.    Kasus Visca Lovitasari

6.    Kasus dugaan pencucian uang Irjen Djoko Susilo

7.    Dan masih banyak kasus lainnya.

`Kasus –kasus di atas menunjukkan bahwa kriminalisasi pencucian uang di Indonesia sudah tepat. Komisi Pemberantasan Korupsi mulai berani menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat koruptor. Hal ini tentu menjadi awal yang bagus bagi masyarakat Indonesia sekarang. Misalnya kasus Muhammad Nazaruddin dalam kasus pembelian saham maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia yang diduga menggunakan uang hasil kejahatan korupsi. Berbagai macam kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana di Indonesia mulai ditelusuri lebih lanjut oleh penyidik agar dapat dikenai hukuman tindak pidana pencucian uang.

Secara tidak langsung dengan adanya undang-undang tindak pidana pencucian uang ini telah mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Karena perputaran dana dalam masyarakat Indonesia mulai seimbang. Dengan disahkannya undang-undang pencucian uang ini, tingkat kemiskinan di Indonesia semakin menurun. Hal ini dicatat oleh badan stastistik nasional.  Berdasarkan data yang dilansir pada 2006 jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang, 2007 mencapai 37,17 juta orang, 2008 mencapai 34,96 juta orang, 2009 mencapai 32,53 juta orang, 2010 mencapai 31,02 juta orang, 2011 mencapai 30,02 juta orang, 2012 mencapai 28,59 juta orang

Namun dalam praktiknya terdapat banyak hambatan dan kendala yang terjadi. Sehingga undang-undang tindak pidana pencucian ini sangat hati-hati digunakan. Bahkan sebenarnya ada dampak-dampak negative dari pencucian uang itu sendiri, meskipun jika dilihat sepintas, tidak ada korban dari pencucian uang itu. Dampak-dampak negative dari pencucian itu antara lain :

1.    memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya mengingat pencucian uang ini banyak dilakukan oleh para pelaku tindak pidana narkotika

2.    mengurangi pendapatan Pemerintah dari pajak mengingat tindak pidana pencucian uang ini merupakan salah satu tindakan untuk menghindari pajak sehingga merugikan bagi masyarakat yang jujur dalam membayar pajak di Indonesia.

3.    Perputaran uang di dalam masyrakat menjadi tidak seimbang.

4.    Tingkat kemiskinan dalam masyarakat Indonesia bisa meningkat.

Jadi kriminalisasi pencucian uang di Indonesia sudah tepat hanya saja masih mempunyai hambatan-hambatan baik dari segi undang-undang itu sendiri, aparatur, maupun dari kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri.

 

BAB III KESIMPULAN

Jadi , kesimpulan dari tulisan ini :

1.    Dengan adanya kriminalisasi pencucian uang sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan menekan tingkat kriminalitas tentu sangat bermanfaat baik dari segi masalah internasional maupun dari segi masalah nasional. Undang-undang tindak pidana pencucian uang ini merupakan salah satu solusi yang tepat untuk memberantas tindak pidana yang dilakukan secara internasional dan dapat mencegah penggunaan lembaga keuangan sebagai sarana dalam melakukan kejahatan.

2.    Dalam pelaksanaannya undang-undang pencucian uang di Indonesia ini menghadapi banyak masalah dan kendala. Masalah itu muncul dari kelemahan undang-undang itu sendiri, dari pihak aparatur, dan dari kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri. Kelemahan undang-undang pencucian ini semakin diperbaiki dengan dilakukannya revisi undang-undang. Namun, tidak cukup dengan revisi bila aparaturnya tidak bekerja dengan integritas tinggi dan profesionalisme. Kebudayaan Indonesia yang enggan untuk menanyakan asal usul dari kekayaan seseorang turut menghambat pelaksanaan undang-undang tindak pidana pencucian uang itu sendiri.

3.    Pelatihan, penyuluhan, dan sosialisasi tentang pencucian uang masih perlu dilakukan di Indonesia. Karena masih banyak yang belum memahami arti penting akan undang-undang anti pencucian uang ini.

Selain itu, penulis juga memberikan saran dalam konteks anti pencucian uang ini, yakni :

1.     Pemerintah perlu memperbaiki kinerja penegak hukum di Indonesia

2.    Perlu dilakukannya upaya penyuluhan, pelatihan, dan sosialisasi tentang anti pencucian uang baik untuk karyawan maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar masyarakt Indonesia lebih professional dan berintegritas tinggi dalam mengatasi pencucian uang di Indonesia.

3.    Perlunya partisipasi masyarakat untuk memberantas aksi pencucian uang agar jalannya undang-undang anti pencucian uang tetap lancar.

4.    Perlunya kesadaran bahwa masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan rahasia keuangan pribadi di bank jika memang benar uang itu bukan hasil kejahatan.

Leave a comment