Pasal 1 Ayat (2) KUHP

  1. Isu Kontradiksi Pasal 1 Ayat (2) KUHP dan Pasal 1 Ayat (1) KUHP

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menulis tentang pasal 1 ayat (1) KUHP yang membahas mengenai asas legalitas. Pembahasan asas legalitas itu juga dikaitkan dengan yurisprudensi yang sering sekali disalah-artikan oleh masyarakat awam Indonesia. Kali ini penulis akan membahas mengenai pasal 1 ayat (2) KUHP yang telah dijanjikan oleh penulis pada tulisan sebelumnya. Tetapi, perlu diingat bahwa penulis tidak menulis tulisan ini hanya semata-mata karena janji belaka. Tulisan ini juga mempunyai latar belakang penulisan tertentu.

Perlu diingatkan, “Penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu!”

Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sering sekali salah mengartikan maksud  dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Orang sering menyatakan bahwa pasal 1 ayat (2) ini merupakan pengecualian dari pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi penggunaan kata “pengecualian” ini telah menunjukkan kesalahpahaman dalam mengartikan maksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Penggunaan kata pengecualian ini , setidak-tidaknya akan menggiring pembaca pada kesalahpahaman bahwa asas legalitas sebenarnya secara frontal berkontradiksi dengan pasal 1 ayat (2) KUHP.  Pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk lebih jelasnya pembaca diharapkan telah membaca tulisan mengenai asas legalitas (pasal 1 ayat (1) KUHP) yang ditulis oleh penulis pada tulisan sebelumnya.

Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dari bunyi pasal tersebut, terdapat frasa perubahan dalam Undang-Undang. Kata yang penting untuk dilihat dalam frasa tersebut ialah kata perubahan. Masyarakat awam sering salah mengartikan kata perubahan tersebut bahwa telah ada Undang-Undang baru yang menggantikan Undang-undang lama. Kata perubahan tersebut tidak bermaksud demikian, karena kata perubahan tidak sama dengan kata “pengganti”. Kata perubahan tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa Undang-undang yang lama itu telah diubah tetapi tidak diganti. Artinya tidak ada undang-undang baru yang menggantikan undang-undang yang lama tersebut, hanya saja sebagian dari undang-undang lama tersebut (pasal demi pasal) ada yang diubah  baik rumusannya ataupun pemidanaannya. Sehingga undang-undang yang lama tersebut tetap berlaku seperti biasanya, tetapi ada pasal-pasal tertentu dalam undang-undang lama tersebut yang diubah rumusannya ataupun pemidanaannya.

Penulis juga menyediakan contoh sederhana mengenai kata perubahan ini. Misalnya dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Yang Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh ini lebih pada perubahan rumusan dan pemidanaannya, dalam pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dijelaskan : “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Bunyi pasal 5 tersebut mengharuskan pembaca melihat kembali pada pasal 209 KUHP. Bunyi pasal 209 KUHP tersebut ialah,

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

  1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.”

Bunyi pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi pasal 5 setelah perubahan pun menjadi,

  • Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
  • Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perubahan ini terlihat begitu sederhana, hanya memasukan bunyi pasal 209 dari KUHP saja. Tetapi, jika dilihat secara lebih seksama, perubahan ini sangat efektif, mengingat pembaca tidak perlu lagi melihat pasal 209 KUHP jika pembaca membaca pasal 5 sebelum perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemidanaannya juga diubah, jika sebelum perubahan, sanksi pidana dalam bunyi pasal 5 ini mengacu juga pada pasal 35 KUHP, maka setelah perubahan, pemidanaannya tidak lagi mencakup pasal 35 KUHP. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap berlaku tetapi dalam penulisan atau pun penyebutannya harus lengkap yakni Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perubahan terhadap suatu Undang-undang, berbeda dengan penggantian suatu undang-undang.  Suatu penggantian undang-undang lama oleh undang-undang yang baru menunjukkan bahwa undang-undang yang lama itu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru, artinya undang-undang lama itu secara keseluruhan tidak berlaku lagi karena telah dicabut. Undang-undang yang baru itu yang berlaku secara keseluruhan menggantikan undang-undang yang lama. Contoh Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya yang dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Artinya Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dan diganti. Sedangkan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itulah yang berlaku.

Dengan demikian pasal 1 ayat (2) KUHP sebenarnya bukan merupakan kelemahan atau pengecualian pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi merupakan pelunakan atau penghalusan dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada kenyataannya memang benar banyak perdebatan mengenai hal ini, apalagi waktu disahkannya undang-undang yang merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya tersebut ialah saat perbuatan itu telah dilakukan. Tetapi penulis lebih memilih kata pelunakan atau penghalusan lebih tepat dari pada pengecualian, sebab kata perubahan itu tidak sama dengan kata penggantian.

  1. Frasa demi Frasa pasal 1 ayat 2 KUHP

Untuk membahas frasa demi frasa dalam pasal 1 ayat (2) KUHP ini, kita perlu melihat kembali bunyi pasal 1 ayat (2) ini. Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dalam bunyi tersebut, terdapat dua frasa, frasa pertama yakni “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan”. Dari frasa tersebut ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yakni “perubahan dalam perundang-undangan” dan “sesudah perbuatan dilakukan”. Frasa kedua berbunyi, ”maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Dalam frasa kedua ini, hal yang paling penting untuk dilihat adalah “ketentuan yang paling menguntungkannya”.

  1. Perubahan Dalam Perundang-Undangan

Penulis telah membahas mengenai isu kontradiksi pasal 1 ayat (2) KUHP ini dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Namun, ada pertanyaan penting lain yang perlu dijawab, yakni: undang-undang apa saja yang menjadi batasan dari bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP ini? Seperti apa saja perubahan dalam perundang-undangan yang dimaksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP ini?

Untuk menjawab kedua pertanyaan, kita harus melihat keterkaitan pasal 1 ayat (2) KUHP dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Keterkaitan ini menyangkut istilah perbuatan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Di dalam penulisan peraturan perundang-undangan pidana, jika suatu pasal mempunyai ayat-ayat yang termasuk dalam pasal tersebut, maka ayat-ayat itu seharusnya berhubungan satu sama lain. Pasal 1 ayat (1) berbunyi :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dari bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut merupakan ketentuan pidana. Jadi secara logika. Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud adalah perubahan dalam undang-undang pidana, bukan dalam undang-undang perdata. Hal ini dianut oleh Alm. Prof. Simons dalam teori formilnya. Tetapi teori formil tersebut dibantah oleh Van Geuns. Menurut Van Geuns dalam teori materiil terbatas -nya, perubahan undang-undang itu boleh juga perubahan dari undang-undang lain sepanjang perubahan undang-undang itu mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan, namun perubahan itu harus berdasarkan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang.. Teori ini didukung oleh Hoge Raad dengan arrest tanggal 3-12-1906. Hoge raad ini memuat kasus seorang mucikari (biasa disebut germo) yang membolehkan seorang wanita berusia 22 tahun untuk menjalankan pelacuran di rumahnya. Germo ini dituntut dengan pasal 295 sub 2 KUHP. Saat itu, batas usia dewasa dalam pasal 330 B.W (burgerlijk wetboek) ialah 23 tahun. Namun saat perkara itu diadili, pasal 330 BW diubah yakni batas usia dewasa ialah 21 tahun.

Ahli hukum, Vos, memperkenalkan teori lainnya yakni teori materiil tak terbatas. Menurutnya perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) KUHP itu tidak terbatas pada undang-undang manapun tidak perlu perubahan perasaan dari pembuat undang-undang. Teori ini didukung oleh H.R. dengan arrestnya tanggal 5 September 1921.  Teori Vos ini digunakan di Belanda dengan syarat perubahan tersebut terjadi bila ada perubahan kaidah pidana dan/atau ada perubahan ancaman pidana.

Selain ketiga teori tersebut, perubahan undang-undang ini sebenarnya tidak termasuk dalam perubahan undang-undang yang bersifat sementara. Misalnya peraturan darurat yang berlaku di saat-saat darurat saja (contoh : peraturan perang), setelah keadaan kembali normal, maka aturan darurat itu juga ditarik kembali.  Khusus dalam konteks perubahan undang-undang yang bersifat sementara ini, baik di Belanda maupun di Indonesia, beraku teori van geuns.

  1. Sesudah Perbuatan Dilakukan

Pertanyaan lain kembali muncul, kapan perubahan undang-undang itu dapat berlaku? Apakah di pengadilan tingkat banding dan kasasi berlaku perubahan undang-undang?

Dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP terdapat syarat berlakunya perubahan undang-undang tersebut dalam suatu kasus. Syaratnya sederhana, yakni perubahan undang-undang itu terjadi sesudah perbuatan dilakukan, lebih jelasnya sesudah perbuatan dilakukan tetapi sebelum diadili. jadi dalam pemeriksaan di pengadilan, seharusnya telah diketahui kapan tepatnya perbuatan itu dilakukan, sehingga jika terjadi perubahan undang-undang, dapat ditentukan apakah perubahan undang-undang tersebut berlaku atau tidak.

Di pengadilan tingkat pertama, perubahan undang-undang ini dapat digunakan, karena proses persidangan terhadap suatu kasus yang masih baru. Sedangkan di tingkat banding, perubahan undang-undang ini dapat dipakai jika dalam tingkat banding dilakukan persidangan terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai proses yang baru. Sedangkan jika hanya sebagai koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) maka perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai. Di tingkat kasasi, perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai karena mahkamah agung hanya akan memperhatikan pasal-pasal yang telah dipakai oleh hakim-hakim di bawahnya (putusan MA 23 Mei 1970, perkara Kwee Tjin Hok).

  1. Ketentuan Yang Paling Menguntungkannya

Untuk menentukan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa, perlu dilakukan perbandingan antara undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru. Dalam konteks ini ketentuan yang dimaksud itu antara lain ketentuan mengenai ancaman pidananya, perumusan kaidahnya, unsur-unsurnya, atau golongannya (misalnya dulu merupakan kejahatan umum, di perubahan undang-undangnya menjadi delik aduan), dan sebagainya.

Menurut HR tanggal H.R tanggal 25 Juni 1906, menentukan ketentuan yang paling menguntungkan itu tidak dapat ditentukan secara umum, tetapi harus secara khusus kasus demi kasus. Artinya setiap kasus itu bisa saja berbeda ketentuan yang paling menguntungkannya tersebut.

Demikian saja untuk tulisan pasal 1 ayat (2) KUHP ini. Penulis sudah kewalahan mencari sumber. Maaf dan terima kasih dari penulis untuk para pembaca setia.

Sekali lagi, penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu! Kalau ada pertanyaan, Silahkan ada kolom komentar di wordpress ini.  

 

Sumber :

KUHP

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2015.

Rasyid Adriman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Malang : Setara Press, 2015.

3 Comments

Leave a comment