Pasal 1 Ayat (2) KUHP

  1. Isu Kontradiksi Pasal 1 Ayat (2) KUHP dan Pasal 1 Ayat (1) KUHP

Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menulis tentang pasal 1 ayat (1) KUHP yang membahas mengenai asas legalitas. Pembahasan asas legalitas itu juga dikaitkan dengan yurisprudensi yang sering sekali disalah-artikan oleh masyarakat awam Indonesia. Kali ini penulis akan membahas mengenai pasal 1 ayat (2) KUHP yang telah dijanjikan oleh penulis pada tulisan sebelumnya. Tetapi, perlu diingat bahwa penulis tidak menulis tulisan ini hanya semata-mata karena janji belaka. Tulisan ini juga mempunyai latar belakang penulisan tertentu.

Perlu diingatkan, “Penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu!”

Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sering sekali salah mengartikan maksud  dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Orang sering menyatakan bahwa pasal 1 ayat (2) ini merupakan pengecualian dari pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi penggunaan kata “pengecualian” ini telah menunjukkan kesalahpahaman dalam mengartikan maksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP. Penggunaan kata pengecualian ini , setidak-tidaknya akan menggiring pembaca pada kesalahpahaman bahwa asas legalitas sebenarnya secara frontal berkontradiksi dengan pasal 1 ayat (2) KUHP.  Pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk lebih jelasnya pembaca diharapkan telah membaca tulisan mengenai asas legalitas (pasal 1 ayat (1) KUHP) yang ditulis oleh penulis pada tulisan sebelumnya.

Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dari bunyi pasal tersebut, terdapat frasa perubahan dalam Undang-Undang. Kata yang penting untuk dilihat dalam frasa tersebut ialah kata perubahan. Masyarakat awam sering salah mengartikan kata perubahan tersebut bahwa telah ada Undang-Undang baru yang menggantikan Undang-undang lama. Kata perubahan tersebut tidak bermaksud demikian, karena kata perubahan tidak sama dengan kata “pengganti”. Kata perubahan tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa Undang-undang yang lama itu telah diubah tetapi tidak diganti. Artinya tidak ada undang-undang baru yang menggantikan undang-undang yang lama tersebut, hanya saja sebagian dari undang-undang lama tersebut (pasal demi pasal) ada yang diubah  baik rumusannya ataupun pemidanaannya. Sehingga undang-undang yang lama tersebut tetap berlaku seperti biasanya, tetapi ada pasal-pasal tertentu dalam undang-undang lama tersebut yang diubah rumusannya ataupun pemidanaannya.

Penulis juga menyediakan contoh sederhana mengenai kata perubahan ini. Misalnya dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Yang Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh ini lebih pada perubahan rumusan dan pemidanaannya, dalam pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dijelaskan : “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.

Bunyi pasal 5 tersebut mengharuskan pembaca melihat kembali pada pasal 209 KUHP. Bunyi pasal 209 KUHP tersebut ialah,

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

  1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.”

Bunyi pasal 5  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi pasal 5 setelah perubahan pun menjadi,

  • Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
  • Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perubahan ini terlihat begitu sederhana, hanya memasukan bunyi pasal 209 dari KUHP saja. Tetapi, jika dilihat secara lebih seksama, perubahan ini sangat efektif, mengingat pembaca tidak perlu lagi melihat pasal 209 KUHP jika pembaca membaca pasal 5 sebelum perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemidanaannya juga diubah, jika sebelum perubahan, sanksi pidana dalam bunyi pasal 5 ini mengacu juga pada pasal 35 KUHP, maka setelah perubahan, pemidanaannya tidak lagi mencakup pasal 35 KUHP. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap berlaku tetapi dalam penulisan atau pun penyebutannya harus lengkap yakni Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Perubahan terhadap suatu Undang-undang, berbeda dengan penggantian suatu undang-undang.  Suatu penggantian undang-undang lama oleh undang-undang yang baru menunjukkan bahwa undang-undang yang lama itu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru, artinya undang-undang lama itu secara keseluruhan tidak berlaku lagi karena telah dicabut. Undang-undang yang baru itu yang berlaku secara keseluruhan menggantikan undang-undang yang lama. Contoh Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya yang dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Artinya Undang-Undang No 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 Tentang Perubahannya sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dan diganti. Sedangkan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itulah yang berlaku.

Dengan demikian pasal 1 ayat (2) KUHP sebenarnya bukan merupakan kelemahan atau pengecualian pasal 1 ayat (1) KUHP, tetapi merupakan pelunakan atau penghalusan dari pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada kenyataannya memang benar banyak perdebatan mengenai hal ini, apalagi waktu disahkannya undang-undang yang merupakan perubahan dari undang-undang sebelumnya tersebut ialah saat perbuatan itu telah dilakukan. Tetapi penulis lebih memilih kata pelunakan atau penghalusan lebih tepat dari pada pengecualian, sebab kata perubahan itu tidak sama dengan kata penggantian.

  1. Frasa demi Frasa pasal 1 ayat 2 KUHP

Untuk membahas frasa demi frasa dalam pasal 1 ayat (2) KUHP ini, kita perlu melihat kembali bunyi pasal 1 ayat (2) ini. Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:

“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Dalam bunyi tersebut, terdapat dua frasa, frasa pertama yakni “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan”. Dari frasa tersebut ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yakni “perubahan dalam perundang-undangan” dan “sesudah perbuatan dilakukan”. Frasa kedua berbunyi, ”maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”. Dalam frasa kedua ini, hal yang paling penting untuk dilihat adalah “ketentuan yang paling menguntungkannya”.

  1. Perubahan Dalam Perundang-Undangan

Penulis telah membahas mengenai isu kontradiksi pasal 1 ayat (2) KUHP ini dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Namun, ada pertanyaan penting lain yang perlu dijawab, yakni: undang-undang apa saja yang menjadi batasan dari bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP ini? Seperti apa saja perubahan dalam perundang-undangan yang dimaksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP ini?

Untuk menjawab kedua pertanyaan, kita harus melihat keterkaitan pasal 1 ayat (2) KUHP dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. Keterkaitan ini menyangkut istilah perbuatan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Di dalam penulisan peraturan perundang-undangan pidana, jika suatu pasal mempunyai ayat-ayat yang termasuk dalam pasal tersebut, maka ayat-ayat itu seharusnya berhubungan satu sama lain. Pasal 1 ayat (1) berbunyi :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dari bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut merupakan ketentuan pidana. Jadi secara logika. Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud adalah perubahan dalam undang-undang pidana, bukan dalam undang-undang perdata. Hal ini dianut oleh Alm. Prof. Simons dalam teori formilnya. Tetapi teori formil tersebut dibantah oleh Van Geuns. Menurut Van Geuns dalam teori materiil terbatas -nya, perubahan undang-undang itu boleh juga perubahan dari undang-undang lain sepanjang perubahan undang-undang itu mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan, namun perubahan itu harus berdasarkan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang.. Teori ini didukung oleh Hoge Raad dengan arrest tanggal 3-12-1906. Hoge raad ini memuat kasus seorang mucikari (biasa disebut germo) yang membolehkan seorang wanita berusia 22 tahun untuk menjalankan pelacuran di rumahnya. Germo ini dituntut dengan pasal 295 sub 2 KUHP. Saat itu, batas usia dewasa dalam pasal 330 B.W (burgerlijk wetboek) ialah 23 tahun. Namun saat perkara itu diadili, pasal 330 BW diubah yakni batas usia dewasa ialah 21 tahun.

Ahli hukum, Vos, memperkenalkan teori lainnya yakni teori materiil tak terbatas. Menurutnya perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) KUHP itu tidak terbatas pada undang-undang manapun tidak perlu perubahan perasaan dari pembuat undang-undang. Teori ini didukung oleh H.R. dengan arrestnya tanggal 5 September 1921.  Teori Vos ini digunakan di Belanda dengan syarat perubahan tersebut terjadi bila ada perubahan kaidah pidana dan/atau ada perubahan ancaman pidana.

Selain ketiga teori tersebut, perubahan undang-undang ini sebenarnya tidak termasuk dalam perubahan undang-undang yang bersifat sementara. Misalnya peraturan darurat yang berlaku di saat-saat darurat saja (contoh : peraturan perang), setelah keadaan kembali normal, maka aturan darurat itu juga ditarik kembali.  Khusus dalam konteks perubahan undang-undang yang bersifat sementara ini, baik di Belanda maupun di Indonesia, beraku teori van geuns.

  1. Sesudah Perbuatan Dilakukan

Pertanyaan lain kembali muncul, kapan perubahan undang-undang itu dapat berlaku? Apakah di pengadilan tingkat banding dan kasasi berlaku perubahan undang-undang?

Dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP terdapat syarat berlakunya perubahan undang-undang tersebut dalam suatu kasus. Syaratnya sederhana, yakni perubahan undang-undang itu terjadi sesudah perbuatan dilakukan, lebih jelasnya sesudah perbuatan dilakukan tetapi sebelum diadili. jadi dalam pemeriksaan di pengadilan, seharusnya telah diketahui kapan tepatnya perbuatan itu dilakukan, sehingga jika terjadi perubahan undang-undang, dapat ditentukan apakah perubahan undang-undang tersebut berlaku atau tidak.

Di pengadilan tingkat pertama, perubahan undang-undang ini dapat digunakan, karena proses persidangan terhadap suatu kasus yang masih baru. Sedangkan di tingkat banding, perubahan undang-undang ini dapat dipakai jika dalam tingkat banding dilakukan persidangan terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai proses yang baru. Sedangkan jika hanya sebagai koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) maka perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai. Di tingkat kasasi, perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai karena mahkamah agung hanya akan memperhatikan pasal-pasal yang telah dipakai oleh hakim-hakim di bawahnya (putusan MA 23 Mei 1970, perkara Kwee Tjin Hok).

  1. Ketentuan Yang Paling Menguntungkannya

Untuk menentukan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa, perlu dilakukan perbandingan antara undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru. Dalam konteks ini ketentuan yang dimaksud itu antara lain ketentuan mengenai ancaman pidananya, perumusan kaidahnya, unsur-unsurnya, atau golongannya (misalnya dulu merupakan kejahatan umum, di perubahan undang-undangnya menjadi delik aduan), dan sebagainya.

Menurut HR tanggal H.R tanggal 25 Juni 1906, menentukan ketentuan yang paling menguntungkan itu tidak dapat ditentukan secara umum, tetapi harus secara khusus kasus demi kasus. Artinya setiap kasus itu bisa saja berbeda ketentuan yang paling menguntungkannya tersebut.

Demikian saja untuk tulisan pasal 1 ayat (2) KUHP ini. Penulis sudah kewalahan mencari sumber. Maaf dan terima kasih dari penulis untuk para pembaca setia.

Sekali lagi, penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini dalam bentuk apapun, penulis hanya ingin membantu usaha pemerintah untuk  mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.  Hanya itu dan hanya itu! Kalau ada pertanyaan, Silahkan ada kolom komentar di wordpress ini.  

 

Sumber :

KUHP

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2015.

Rasyid Adriman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Malang : Setara Press, 2015.

Pasal 1 ayat (1) KUHP (ASAS LEGALITAS)

Ada berbagai asas hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Asas legalitas ini perlu diketahui dan harus diketahui oleh semua kalangan masyarakat Indonesia dari Sumatra hingga Papua. Karena Indonesia adalah negara hukum, jadi kita semua perlu mengetahui asas-asas hukum di Indonesia. Lebih detail mengenai alasan mengapa asas ini begitu penting akan dijelaskan juga oleh penulis.

Jika kamu adalah orang yang mempelajari hukum, maka asas ini akan lazim kamu dengar. Tetapi bagi orang awam yang belum mempelajari hukum, khususnya mereka yang tinggal di daerah pedesaan, asas ini cukup asing di telinga mereka. Bayangkan saja, kalau asas legalitas yang begitu mendasar tidak diketahui oleh masyarakat pedesaan, apalagi kalau kita berbicara tentang undang-undang tindak pidana pencucian uang.

Penulis juga prihatin dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya mengetahui bahwa suatu perbuatan dapat dihukum bila ada peraturannya terlebih dahulu, namun mereka tidak mengetahui istilah asas legalitas. Kebanyakan ahli hukum di Indonesia menggunakan istilah-istilah ini untuk menjelaskan hukum di televisi, namun istilah ini hanya diketahui oleh mereka yang sudah mengenal asas-asas hukum. Anda sebagai pembaca Online mungkin tidak percaya dengan apa yang penulis sampaikan di atas, tetapi tidak ada salahnya jika pembaca mencoba bertanya ke teman-teman di jalanan, apakah mereka mengetahui istilah asas legalitas. Jangan terkejut kalau banyak yang tidak mengetahui istilah itu.

Kenyataan bahwa kebanyakan pembaca artikel Online mengetahui istilah asas legalitas memang tidak dapat dipungkiri. Suatu hal yang aneh bahwa penulis malah memposting artikel mengenai asas legalitas ini di media Online. Jujur saja, penulis tidak punya dana untuk print tulisan ini dan dibagi-bagikan secara gratis ke masyarakat  Indonesia. Tulisan ini dibuat hanya sebagai kesadaran penulis akan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pasal 1 ayat (1) KUHP (asas legalitas). Penulis tidak akan berhenti hanya dengan membahas mengenai asas legalitas ini saja, oleh karena itu, kalau ingin membantu, pembaca bisa share tulisan ini, atau pun print tulisan ini untuk dibagikan. Penulis tidak ingin mengambil keuntungan dari tulisan ini. Tulisan ini hanya sebagai upaya penulis untuk membantu upaya pemerintah dalam mendorong masyarakat Indonesia yang lebih mengerti hukum.

Asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat mendasar dalam hukum Indonesia. Asas legalitas ini juga biasa disebut dengan adagium legendaris dari seorang ahli hukum yang bernama von Feuerbach. Adagium tersebut ialah “Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang artinya tidak ada tindak pidana/delik, tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya. Adagium ini juga dapat dibagi dalam 3 maksud, yakni :

  1. Tidak ada hukuman, jika tak ada Undang-undang,
  2. Tidak ada hukuman, jika tak ada kejahatan
  3. Tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang.

Asas legalitas ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum sebab dengan demikian keadilan bagi terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan (dalam hal ini khususnya mengenai waktu terjadinya peristiwa hukum). dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dipakai juga dapat sesuai dengan waktu terjadinya peristiwa hukum. Namun pasal 1 ayat (1) KUHP ini, mempunyai pengecualian (lebih tepatnya penghalusan/pelunakan) yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Penghalusan ini akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Asas legalitas ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau yang biasa disingkat dengan KUHP. Bunyi pasal 1 ayat (1) itu adalah :

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Dari bunyi pasal tersebut terdapat frasa pertama dan frasa kedua. Frasa pertama yakni “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana”. Frasa kedua, yakni “kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dalam mengartikan atau memahami pasal 1 ayat (1), kita tidak dapat mengartikan frasa pertama dan kedua secara terpisah. Artinya, frasa pertama dan kedua tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga frasa pertama dan frasa kedua dalam pemahaman keseluruhan pasal tidak dapat dipisahkan .

Dalam frasa pertama  “suatu perbuatan tidak dapat dipidana” ingin menjelaskan bahwa adanya kelompok perbuatan atau tindakan atau kelakuan, atau tingkah laku yang tidak dapat dipidana. Kelompok perbuatan ini menjadi kelompok yang lebih umum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

Sementara itu, dalam frasa kedua, yakni  “kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”, terdapat satu kata yang membedakan frasa pertama dan kedua yakni kata “kecuali”. Kata kecuali ini menjelaskan bahwa ada perbuatan yang diistimewakan atau tidak termasuk dalam kelompok perbuatan yang dijelaskan dalam frasa pertama. Dengan demikian terdapat dua kelompok perbuatan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana. Frasa pertama jelas mengandung perbuatan yang tidak dapat dipidana. Sementara frasa kedua mengandung perbuatan yang dapat dipidana, tetapi dengan syarat tertentu. Syarat tersebut ialah telah ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan.

Jadi, perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana bergantung pada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan tidak ada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Sebaliknya, jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan telah ada perbuatan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Namun keadilan itu sendiri bukan berasal dari kumpulan aturan yang dirangkai menjadi satu buku atau kitab undang-undang. Keadilan itu berasal dari masyarakat, hal inilah yang harus diingat oleh masyarakat awam yang belum mengerti hukum. Dengan demikian timbul pertanyaan, bagaimana jika menurut masyarakat suatu perbuatan itu salah dan akibatnya yang merugikan orang lain sementara perbuatan tersebut belum ada peraturan perundang-undangannya? Apakah dalam konteks ini asas legalitas masih berlaku? Bagaimana mengadili perbuatan yang salah tetapi belum ada peraturan perundang-undangannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibahas mengenai yurisprudensi.

Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat. Yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan secara terus menerus oleh peradilan. Sistem hukum di Indonesia tidak menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum, tetapi menganut aliran rechtsvinding yang menyatakan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi yurisprudensi dapat dilakukan jika yurisprudensi itu mempunyai dasar hukumnya tersendiri. Dengan demikian perbuatan pidana yang belum ada peraturan perundang-undangannya dapat diadili, karena dalam tulisan sebelumnya yang membahas mengenai etika profesi hakim dijelaskan mengenai hakim yang tidak boleh menolak suatu perkara. Hal ini didasari oleh Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bunyi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Bunyi Pasal 5 ayat (1) UU 48 tahun 2009, yakni : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Selain itu, pasal 22 AB (Algemene Bepalingen) juga mendasari yurisprudensi. Pasal 22 AB menyatakan bahwa “hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili”. Sehingga, pada dasarnya, asas legalitas tetap berlaku dalam penerapan yurisprudensi itu sendiri.

Lalu timbul pertanyaan lebih lanjut, bagaimana hakim dapat membuat putusan mengenai kasus yang tidak mempunyai dasar hukum? Menurut pendapat R. Sardjono sebagaimana dikemukakan dalam Raker  (Rapat Kerja) Hakim dan Panitera dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun 1972 , antara lain :

  1. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan tersebut.
  2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid), pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-pertimbangan putusan dan dictum putusan.
  3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
  4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenang sekaligus dapat dilenyapkan.
  5. Hubungan antara dictum (amar; sederhananya tiap poin dari putusan) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.

5 hal tersebut tidak serta merta menjadikan putusan tersebut sebagai yurisprudensi. Ke-5 hal tersebut hanya merupakan hal-hal yang harus diperhatikan oleh hakim jika ingin membuat suatu putusan dalam perkara yang tidak mempunyai dasar hukumnya. Ada syarat-syarat lain bagi suatu putusan untuk dapat dijadikan yurisprudensi dalam putusan perkara kasus lainnya yang serupa. Syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi ( Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)), antara lain:

  1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
  2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
  4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
  5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

5 syarat inilah yang menjadi dasar suatu putusan dapat dijadikan yurisprudensi. Dengan demikian putusan hakim terhadap kasus yang belum ada dasar hukumnya bukan karena adanya yurisprudensi, melainkan karena adanya kewajiban kehakiman yang telah diatur dalam undang-undang yang mana kewajiban kehakiman tersebut dilakukan sesuai asas legalitas.

Demikian saja pembahasan mengenai asas legalitas. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu masyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam mengerti hukum Indonesia. Mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan atau kekurangan dalam penulisan ini dan diharapkan agar pembaca meninggalkan komentar untuk menyemangati penulis dan memberitahu penulis mengenai kekurangan-kekurangan tulisan ini. Akhirnya terima kasih dari penulis untuk pembaca yang telah menyediakan waktu untuk membaca tulisan ini.

source :

  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  3. Kamus Besar Bahasa Indonesia
  4. https://thexqnelson.wordpress.com/2014/06/10/etika-profesi-hakim/
  5. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514810646f40f/asas-legalitas,-kebebasan-hakim-menafsirkan-hukum,-dan-kaidah-yurisprudensi
  6. https://id.wikipedia.org/wiki/Asas_Legalitas#cite_note-Referensi-1
  7. Hasil-hasil pertemuan ilmiah (simposium, seminar lokakarya) BPHN 1977-1979