PEMBUKTIAN MALPRAKTIK MEDIK

BAB I   PENDAHULUAN

Dalam perkembangan dunia modern saat ini, perkembangan bidang kesehatan dan hukum menjadi begitu pesat. Penggunaan akal sehat manusia tidak lagi seperti penggunaan akal sehat di zaman prasejarah dulu. Saat berbicara mengenai kesehatan, maka pembicaraan itu identik dengan dunia kedokteran, bukan lagi identik dengan dunia paranormal, meskipun masih ada segelintir orang yang percaya dengan hal-hal yang menyangkut paranormal. Demikian pula saat berbicara mengenai hukum, orang akan membicarakannya dengan lebih detail dengan sanksi-sanksi yang jelas telah diatur secara tertulis daripada saat zaman-zaman dahulu yang peraturan dan sanksinya belum tertulis, meskipun pada saat ini hukum tidak tertulis masih tetap digunakan. Namun, hal ini dengan sangat jelas menerangkan bahwa sebagian besar manusia telah menggunakan akal sehat dengan begitu baik. Orang lebih mempercayai kemampuan dokter-dokter yang mempunyai  bukti logis dalam menyembuhkan pasien daripada paranormal yang hanya mengandalkan kepercayaan dari pasiennya saja.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kasus hukum yang berkaitan dengan dunia kesehatan atau dapat dikatakan kasus kesehatan yang dihubungkan dengan hukum. Kasus-kasus seperti ini sudah bermunculan sejak dimulainya zaman modern. Salah satu contoh yang paling tepat untuk menjelaskan kasus-kasus seperti ini ialah kasus malpraktik yang sering diberitakan oleh media. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang kasus malpraktik.

1.1              LATAR BELAKANG

Kasus malpraktik merupakan kasus yang sangat erat hubungannya dengan dunia kedokteran.  Kasus malpraktik ini bermunculan sejak adanya kekecewaan dari pasien akan penyembuhan yang dilakukan oleh dokter-dokter. Kekecewaan ini kemudian diajukan sebagai kasus hukum karena berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, seperti hak hidup dan hak untuk mendapatkan kesehatan. Namun, kita juga tak dapat menghindar dari alasan lain munculnya kasus malpraktik ini, yakni bahwa masyarakat kurang mengerti mengenai perbedaan perjanjian dan penyembuhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.  Selain itu, tak dapat dipungkiri, kasus malpraktik ini muncul karena banyaknya petugas kesehatan yang kemampuannya tidak mumpuni dalam melakukan penyembuhan dan juga keterangan pasien yang kurang detail saat diperiksa oleh petugas kesehatan.

Namun, alas an-alasan tersebut tidak semuanya tepat untuk dijadikan sebagai dasar adanya kasus malpraktik. Kasus malpraktik lebih menjurus pada kemampuan petugas kesehatan untuk menyembuhkan dan prosedur standar yang dilakuakan oleh petugas kesehatan tersebut untuk menyembuhkan. Tetapi, karena kurang mengertinya pasien mengenai dasar-dasar ini, mengakibatkan munculnya kasus malpraktik banyak bermunculan di pengadilan.

Penulis berharap, dengan adanya makalah ini, maka masyarakat lebih mengerti mengenai kasus malpraktik. Sehingga, pasien tidak sekedar mengajukan kasus kesehatannya sebagai kasus malpraktik dengan dasar yang kurang sesuai. Karena kasus yang didasarkan oleh dasar yang kurang tepat tersebut hanya akan membuang waktu dan biaya dari pasien dan petugas kesehatan.

Selain latar belakang tersebut, penulis juga ingin memenuhi tugas mata kuliah hukum kedokteran untuk membuat makalah.

1.2              Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini cukup sederhana, yakni:

  1. Menjelaskan apa pengertian malpraktik itu.
  2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan dalam hubungannya dengan bidang hukum.
  3. Menjelaskan perbedaan antara malpraktik dan resiko medis
  4. Menjelaskan pembuktian malpraktik
  5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum dalam hubungannya dengan kasus malpraktik.

1.3              Kasus

Untuk memberikan contoh kasus malpraktik, sebenarnya sudah dapat kita temukan sendiri di media massa dan media internet. Namun, agar pembaca dapat lebih mudah, maka penulis memberikan contoh- contoh kasus malpraktik yang muncul. Misalnya :

  1.  berita yang diberikan media Radar Malang :

Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006

SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS

Batu- Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu, 39, tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.

Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin, 40, kalut bukan kepalang.Bayi yang diidam idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.

Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.

Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.

Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.

Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.

Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.

Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.

Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya. (www.opensubscriber.com).

  1. Kasus Dr. Harold Shipman

The Press, New Zealand, 14 Januari 2004

Dr. Harold, seorang dokter umum di Hyde, Greater Manchester, telah melakukan seri pembunuhan terhadap pasien-pasiennya dan namanya juga telah dicoret dari Register General Medical Council. Ia dinyatakan bersalah ole GMC dengan tuduhan “serious professional misconduct”.

Dr. Harold membunuh 15 pasiennya dengan menyuntikkan “diamorphine” yang dikenal sebagai heroin. Dia merupakan pembunuh berdarah dingin yang telah menggunakan pengetahuan medisnya untuk menghilangkan nyawa pasiennya. Committee mengatakan bahwa sejumlah kematian pasiennya mengarah pada kematian yang disengaja (dolus), sebab di antara pasien-pasien tersebut, tidak ada yang ditemukan menderita penyakit, tetapi diberikan morphin oleh Dr. Harold. Di dalam banyak kasus ia juga membuat surat keterangan palsu yang cocok atau sesuai dengan penyebab kematian yang sebenarnya ia sebabkan. Misalnya, dia membuat surat testamen palsu terhadap seorang pasien (Mrs. Grundy)  dengan menyatakan bahwa pasiennya tersebut telah memberikan L 38.600.- dan meninggal karena usianya. Namun, ternyata Mrs. Grundy masih tergolong orang yang energetik dan aktif. Tetapi, dalam pemeriksaan lebih lanjut, telah ditemukan jumlah morphin yang sangat banyak dalam tubuh Mrs. Grundy.  Sedangkan surat testamen itu sendiri ditemukan dalam ruangan praktik Dr. Harold. Dicurigai  bahwa Dr. grundy telah membunuh 215 pasiennya yang sedang diselidiki. Ia kemudian dihukum penjara seumur hidup dan dilarang berpraktik sebagai dokter seumur hidupnya. Tetapi, keputusan untuk mencabut namanya dari status dokter merupakan wewenang GMC. Kemudian diberitakan juga bahwa Dr. Harold telah ditemukan gantung diri di kamar penjaranya. (buku: hukum medik – J. Guwandi, S.H).

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

2.1       Pengertian Malpraktik

 Istilah malpraktik sendiri telah diidentikkan dengan  malpraktik yang dilakukan dalam bidang medis. Hal ini telah terjadi di mana-mana, baik di Indonesia maupun di luar negri. Namun sebenarnya, kalau dilihat secara harafiah, tidak tepat untuk mengarahkan istilah malpraktik untuk bidang kesehatan saja. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hal ini telah menjadi lumrah dalam masyarakat umum, sehingga banyak ahli yang mengartikan malpraktik dengan selalu menghubungkannya dengan pihak atau petugas kesehatan.

Secara harafiah, malpraktik berasal dari kata “mal” yang mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.

Sedangkan difinisi malpraktik adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan wilayah yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Menurut Stedman’s Medical Dictionary malpraktik adalah salah satu cara mengobati suatu penyakit atau luka dengan sikap tindak yang  acuh,sembarangan, atau berdasarkan motivasi kriminal.

2.2              Jenis-Jenis Malpraktik dalam Hubungannya dengan Hukum

Dapat kita katakan bahwa semua bidang dalam kehidupan kita telah mempunyai hukumnya sendiri termasuk bidang kesehatan yang telah mempunyai hukumnya sendiri. Namun, perlu diterangkan bahwa hukum dalam hubungannya dengan bidang kesehatan yang diterangkan di sini ialah hukum yang tertulis. Meskipun dalam praktik, seorang hakim tidak mboleh menolak kasus yang diajukan, walaupun kasus tersebut belum mempunyai dasar hukum tertulis.

Terdapat contoh yang dapat diterangkan mengenai malpraktik dalam hubungannya dengan bidang hukum. Misalnya dalam bidang hukum yang biasa disebut dengan istilah malpraktik yuridis, seperti malpraktik sipil (civil malpractice), malpraktik administrasi (administration malpractice), dan criminal malpractice.

  1. 1. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice, antara lain: tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna, melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

  1. 2. Administrative malpractice

Tenaga bidang kesahatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice apabila tenaga bidang kesehatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

  1. 3. Criminal Malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice apabila perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan    perbuatan tercela

b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

c. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).

d.  Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

e. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.

Pertanggung jawaban di depan hukum pada criminal malpractice bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.3              Perbedaan Malpraktik dan Resiko Medis

Sebelum lebih jauh melangkah ke depan untuk menjelaskan tentang pembuktian malpraktik, kita harus tahu membedakan anatara malpraktik dan resiko medis. Perbedaan yang ingin dijelaskan di sini cukup sederhana, yaitu malpraktik menyebabkan petugas kesehatan  dapat dituntut, sedangkan resiko medis tidak dapat menyebabkan petugas kesehatan dituntut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita memperhatikan uraian singkat ini.

Untuk dapat menikmati manfaat dari semua tindakan kita, pasti ada resiko yang akan kita hadapi. Hal inilah yang selalu kita temukan dalam kehidupan kita, meskipun resiko itu tergolong resiko yang sangat kecil dibandingkan dengan manfaat yang akan kita hadapi dan tak perlu diperhatikan sebagai suatu hambatan. Namun dalam hubungannya dengan bidang kesehatan, kita harus memperhatikan resiko itu, sekecil apapun itu, karena saat kita berbicara tentang kesehatan, maka hal itu dapat berujung pada kelumpuhan atau bahkan kematian.

Dalam bidang kesehatan, hasil yang tidak diharapkan dapat saja muncul karena beberapa kemungkinan, yakni :

  1. Hasil dari sebuah perjalanan penyakit, atau komplikasi penyakit yang tidak ada hubunganya dengan tindakan medic yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
  2. Hasil dari resiko yang tak dapat dihindari, misalnya :
    1. Resiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Resiko ini sangat mungkin terjadi dalam dunia kesehatan karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang bervariasi. Misalnya syok anafilaktik.
    2. Resiko yang telah diketahui sebelumnya (forseeable) tetapi dapat diterima (acceptable). Resiko ini biasanya telah diinformasikan kepada pasien sebelum tindakan medic dilakukan, baik resiko itu tergolong kecil dan dapat diantisipasi maupun yang tergolong besar karena merupakan satu-satunya cara untuk dapat disembuhkan, terutama dalam keadaan darurat.

Resiko medic di Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi dijelaskan dalam beberapa bentuk lain, yakni :

  1. Informed consent , yakni merupakan persetujuan tindakan medic yang ditandatangani oleh pasien yang mengizinkan suatu tindakan tertentu terhadap dirinya. Dokumen ini bermaksud agar melindungi petugas kesehatan dari tuntutan yang mungkin akan muncul di kemudian hari dan merupakan pernyataan penentuan nasib sendiri oleh pasien tersebut.
  2. Pasal 45 ayat (1), (2), (3),(4),(5) undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
  3. Peraturan Mentri  Kesehatan Republik Indonesia nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medic.
  4. Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia tentang informed consent.

Selain itu,  dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau assumpsion of risk yang maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya yang sudah ia ketahui, maka ia tak dapat menuntut pertanggung jawaban pada orang lain apabila hal itu benar-benar terjadi.

2.4.1.      Pembuktian Malpraktik

Malpraktik dapat masuk ke ranah hukum pidana bila :

  1. Syarat sikap batin dokter : sengaja atau tidaknya seorang dokter melakukan malpraktik medic.
  2. Syarat perlakuan medis : perlakuan medis yang menyimpang atau tidak sesuai prosedur standar.
  3. Syarat mengenai hal akibat : timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien

Namun, ada juga yang disebut rahasia medic yang diatur dalam pasal 322 KUHP, yang menerangkan bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran.

Dalam perkembangan pelayanan medis ternyata memiliki berbagai faktor yang turut mempengaruhi sehingga telah mengakibatkan hubungan antara dokter dan pasien semakin tidak pribadi. Misalnya, semakin banyak pasien menunggu dan dokter mengejar waktu untuk berpraktek di tempat lain atau dengan semakin banyak peralatan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapeutik yang digunakan sehingga tidak lagi diperlukan penanganan secara langsung oleh dokter sendiri sehingga dokter sering lalai dan mempercayakan seluruhnya kepada peralatan medis tersebut.

Telah menjadi kenyataan bahwa alat teknologi medis yang maju mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan jangkauan diagnosis dan terapi sampai kepada batasan yang tidak dibayangkan atau diduga sebelumnya. Kendati demikian alat teknologi yang modern tidak selalu mampu menyelesaikan problema penyakit dari seorang penderita, bahkan adakalanya menimbulkan efek samping bagi pasien seperti misalnya cacat, bahkan sampai mengakibatkan kematian.

Sampai sekarang, hukum kedokteran di indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga isi pengertian batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya[1]. Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran mengandung kalimat yang mengarah pada kesalahan praktek kedokteran yaitu ”setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Aturan ini hanya memberi dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat tindakan yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk  menutut ganti rugi atas malpraktek kedoteran. Pasal itu hanya mempunyai sudut hukum administrasi praktikkedokteran.

Malpraktek medik memang merupakan konsep pemikiran Barat khususnya Amerika. Dalam kepustakaan Amerika secara jelas menggunakan medical malpractice karena istilah ini berkembang dari sistem hukum tort atau sistem juri yang mana tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.

Tuntutan terhadap malpraktek kedokteran seringkali kandas di tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan mengemukakan alasan-alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapatkan kesulitan dalam mengahadapi masalah malpraktek kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan karena memang belum diatur secara khususnya mengenai malpraktek medik di Indonesia.

Penegakan hukum tindak pidana malpraktek medik masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mengatur secara khusus atau tidak dikenal adanya tindak pidana malpraktek medik. Pemberlakuan ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam KUHP hanya merupakan ultimum remedium, yakni ketentuan-ketentuan pidana yang digunakan karena dalam penyelenggaraan praktek kedokteran telah menimbulkan korban baik luka, cacat serta kematian sementara tidak diaturnya ketentuan khusus tentang tindak pidana malpraktek medik dalam penyelenggaraan praktek kedokteran. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya mengatur mengenai pemberian perlindungan terhadap hak korban akibat pelanggaran HAM berat dengan memberikan hak kompensasi dan restitusi, sedangkan perlindungan hak korban yang diakibatkan oleh malpraktek medik (bukan pelanggaran HAM berat) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memberikan hak ganti kerugian materiil.

Dari definisi Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956 malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).

Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?

Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.

Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela

b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Namun biasanya dalam kasus criminal malpractice pembuktiannya  dilakukan dengan 2 cara, yakni :

  1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan 1) Adanya indikasi medis, ) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.

Lalu bagaimanakah cara menghadapi tuntutan hukum dalam hubungannya dengan kasus malpraktik?

Dalam kasus tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :

  1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. Dalam informal defence ini hendaknya bidan  menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
  2.  Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Dengan demikian, bidan harus membuktikan hal-hal di atas agar dapat terlepas dari tuntutan.

BAB III          PENUTUP

3.1.      Kesimpulan

            Dengan semakin banyaknya kasus malpraktik, dapat dikatakan bahwa kualitas dunia kesehatan masih belum cukup baik, bahkan perkembangan hukum yang berkaitan dengan dunia kesehatanpun masih belum cukup untuk memenuhi harapan. Namun, aturan-aturan yang ada dan fasilitas yang disediakan untuk dunia kesehatan tidak dapat disalahkan hanya karena semakin banyaknya kasus malpraktik. Kita sebagai orang yang menggunakan aturan  dan fasilitaas itulah yang harus lebih meningkatkan SDM.

3.2.      Saran

            Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Apa lagi bila masalah kesehatan itu memang memerlukan rujukan. Setiap etugas kesehatan harus memperhatikan hal sederhana dalam melaksanakan tugas-tugasnya.  Tetapi juga, seorang pasien harus mau jujur secara terbuka saat menyampaikan masalah kesehatannya kepada petugas kesehatan. Kita harus bias membedakan malpraktik dan resiko medis serta kelalaian petugas kesehatan dan harus lebih mengerti hukum kesehatan agar tidak hanya asal mengajukan tuntutan kepada pengadilan mengenai masalah malpraktik.